Lihat ke Halaman Asli

Gunung Mimpi

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Masih terang benar ingatan akan pertanyaan beberapa teman selepas pelaksanaan prosesi wisuda tempo hari, sebuah pertanyaan yang bagiku benar – benar menggelitik karena seharusnya tidak perlu dilontarakan apalagi mesti aku jawab. Pertanyaan itu bagiku lebih semacam pernyataan, penolakan terhadap pilihanku dan penyesalanan mereka atas diriku yang dianggap keterlaluan karena tidak pandai bersyukur; Mengapa mesti memilih Pulang Kampung ?

Hari masih pagi benar, ayam – ayam jantan juga belum turun benar dari atas pohon tapi gerombolan anak – anak kecil berseragam merah putih itu sudah melintas ramai. Aku selalu menyaksikan mereka setiap hari—setiap pagi melintas dengan rupa – rupa gaya dan obrolan. Penampilan mereka sederhana atau bahkan terlalu berlebihan untuk disebut layak. Rata – rata mereka kemungkinan besar hanya punya satu pasang baju seragam yang dipakai seminggu penuh, putih bersih dihari senin dan kembali berubah kekuning – kuningan dipertengahan minggu namun bagiku yang tidaak pernah berubah adalah sorot mata mereka, selalu berbinar dan seperti selalu berani menantang apapun. Mereka adalah gerombolan anak – anak kampung, anak – anak gunung yang untuk bisa tiba ke sekolah dengan tepat waktu harus mengantri angkutan selepas subuh karna jarak antara kampung dan sekolah yang jauh.

Aku kenal Buba, anak laki – laki berkulit hitam dan bertubuh lebih besar dari teman – teman segerombolannya. Ayah Buba adalah seorang supir mobil pickup yang hampir setiap hari mengangkut Buba dan teman – temannya kesekolah, jumlah gerombolan anak SD yang harus melewati 3 tiga Kampung besar dan 5 kampung kecil ditambah dusun – dusun petuanan itu memang tidaklah banyak tapi mereka selalu harus beradu cepat dengan orang – orang dewasa yang juga membutuhkan tumpangan untuk tidak terlambat sampai dipasar untuk berjualan. Kampung tempat aku dan buba tinggal bukanlah kampung besar, berada dibagian ujung pulau dan hanya berpenduduk sekitar 200 kepala keluarga yang rata – rata berprofesi sebagai petani kebun sehingga jumlah kendaraan umum yang tersediapun terbatas. Buba sehari – hari bertindak sebagai kondektur ayahnya, mengumpulkan teman – temannya sambil berteriak – teriak “ woe mare skolah woe ” lalu bila ada diantara mereka yang terlambat bisa dipastikan akan memilih pulang dan membantu orang tua mereka dikebun atau bermain dibukit batu.

“ bapa bilang kalo beta skolah, nanti beta bisa jadi presiden “ buba menceritakan alasan mengapa dia bersekolah sambil merajut bambu untuk dibuat menjadi layang – layang “ beta juga punya dua orang kakak laki – laki. Dua – duanya pergi sekolah dikota tapi dong seng jadi presiden, yang pertama jadi buruh dipelabuhan dan yang kedua kerja di Matahari. Yang kedua bajunya bagus, walaupun seng jadi presiden, abang pakai baju hitam – hitam seperti pengawal presiden, kata bapak abang jadi penjaga counter pakaian dalam laki – laki, dia sering sekali mengirimkan beta dan bapak pakaian dalam baru “ buba meracau panjang, terus merajut bambu lalu sesekali menimbangnya dengan benang.

Setiap sore buba dan teman – temannya berkumpul di bukit batu untuk merayakan hari mereka dengan berbagai macam permainan mulai dari permainan hari – hari seperti benteng, perang nama, hasen hingga permaianan – permaianan musiman seperti layang – layang dan mutel[1]. Buba sudah duduk dibanguku kelas enam dan beberapa bulan lagi bersama teman – teman seumurannya akan memasuki ujian nasional yang berarti moment kelulusan mereka akan segera tiba tapi ternyata moment kelulusan tersebut bukanlah sebuah moment yang ditunggu – tunggu oleh buba dan teman – temannya karena tidak semua dari mereka akan bisa melanjutkan studi ke tingkat selanjutnya kecuali mereka yang memiliki biaya dan cukup keinginan untuk pindah ke seberang pulau tempat satu – satunya SMP terdekat berada.

“ dulu beta punya om diseberang, kakak dulu tinggal bersama dia waktu skolah tapi skarang dia suda mati. Bapak bilang beta bisa ikut kakak dikota tapi beta tau hidup mereka susah, beta seng mau menyusahkan “ buba menyelesaikan kerangka layang – layang dan mulai mengolesi kertas Koran dengan minyak kelapa “ beta seng mau skolah lai, tapi beta tetap mau jadi presiden “

Buba berlari ketengah tanah lapang dan menjumur kertas – kertas Koran yang sebentar lagi akan berubah menjadi kertas minyak, baju untuk rangka layang – layang yang segera setelah siap akan diterbangkannya bersama angin timur. Aku menyaksikan anak kecil bertubuh hitam yang bertelanjang dada dibawah sinar matahari itu dengan terkesima, buba memang tidak sendiri—banyak anak laki – laki seumurnya yang juga sedang melakukan pekerjaan yang samaa dengannya, pijak dan langkah kaki mereka terlihat kokoh melebihi umur mereka yang sebenarnya, ruas – ruas tangan mereka kuat seperti ruas tangan orang dewasa. Mereka adalah anak – anak gunung yang setiap siang masuk kehutan untuk mencari kayu bakar dan membantu orang tua – orang tua mereka dikebun.

“ ibu baru panen kasbi[2], beta disuruh antarkan ini “ buba menyerahkan setengah karung ubi padaku. Terlalu banyak sebenarnya menurutku tapi menurut apa yang aku tahu, pemberian yang telah diberikan dalam kebiasaan masyarakat kampung haram untuk ditolak sehingga aku menerima dengan suka cita pemberian tersebut.

“ sampaikan salam untuk bapak dan ibu yaa “

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline