Lihat ke Halaman Asli

Iwan Permadi

TERVERIFIKASI

Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

New Normal+Perilaku Lama=AMBYAR!

Diperbarui: 18 Juni 2020   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi latar: wsls.com

Sulit bagi Indonesia keluar cepat menjadi pemenang melawan Covid 19, kalau sebagian rakyatnya masih berpikir dan menganggap lebih baik mati kena Covid 19 daripada mati kelaparan. Jumlah pasien positif Covid 19 di Indonesia setiap harinya saat ini mengalami lonjakan dari sebelumnya “hanya” tiga digit,  sekarang sudah empat digit jumlahnya dan bisa berpotensi lima hingga mungkin enam digit bila test PCR (polymerase chain reaction) atau Swab Test (usap tenggorokan) dilakukan pada banyak penduduk dari populasi rakyat Indonesia yang lebih dari 250 juta orang.

Himbauan pemerintah, kepala pemerintahan baik negara, propinsi, kabupaten/kotamadya, desa, hingga RT/RW seolah tidak menyadarkan sebagian rakyat betapa pandemi (keberlanjutan) penyakit Corona ini masih terus terjadi karena penyakit ini seperti silent enemy (musuh dalam keheningan) menyasar siapa saja yang tidak menjalankan protokol kesehatan secara rutin. patuh dan mengikuti prosedur yang disepakati, disamping juga karena vaksin penangkalnya hingga saat ini belum ditemukan dan belum sempurna diujicobakan pada manusia.

Penggunaan masker dan sekarang ditambah dengan face shield (pelindung wajah) seolah melambangkan betapa percikan droplet (air liur) mereka yang mengidap penyakit ini akan dengan mudah menjalar kepada mereka yang punya potensi tertular baik lansia (lanjut usia) , anak-anak dan orang dewasa yang sistem kekebalan tubuhnya tidak kuat dan juga yang punya penyakit bawaan seperti ginjal, jantung  dan diabetes.

Pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di sejumlah kota dan daerah sudah disadari akan menimbulkan volume bertambahnya penderita, karena faktanya sebenarnya Indonesia belum usai dan tuntas menghadapi gelombang pertama Covid 19, tapi terkesan terlalu terburu-buru masuk ke episode New Normal.

Kurva peningkatan jumlah yang terkena Covid 19 masih beranjak naik dan belum mencapai puncaknya, artinya gelombang pertama belum klimaks tapi sudah dikendorkan.

Padahal pengalaman pada negeri lain pengendoran dilakukan saat kasus corona selama beberapa minggu sudah tidak ditemukan-jadi pakai teori apa ini New Normal cara Indonesia?

Hal lain yang dianggap belum waktunya PSBB dilonggarkan karena proses tes PCR (Reaksi Rantai Polimerase) atau swab test masih dilakukan dan hasil test ini lebih akurat daripada test cepat (rapid test) karena banyak bukti di lapangan ada pasien yang ditest cepat hasilnya negatif tapi lewat swab test hasilnya malah positif.  Sebagai informasi, Rapid test mengambil sample darah sedangkan PCR/Swab Test mengambil sampel lendir yang diambil dari hidung atau tenggorokan.

Proses test ini juga masih dianggap kurang banyak kuantitasnya dilakukan karena masih belum dianggap mewakili prosentase populasi Indonesia, menurut laporan dari Our World in Data jumlah test Covid 19 Indonesia termasuk yang terendah di dunia. WHO merekomendasikan minimal 40 ribu per hari bahkan bila memungkinkan hingga 100 ribu per hari mengingat jumlah penduduk dan luasnya wilayah Indonesia.  

Berdasarkan rekapitulasi data dari kabupaten/kota di Indonesia jumlah pasien ODP (Orang Dalam Pemantauan) dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan) jumlahnya 3.5 lipat lebih banyak yang meninggal daripada mereka yang terkonfirmasi positif-artinya pengidap penyakit ini masih belum banyak terdeteksi di seluruh Indonesia. Artinya mereka yang belum sempat ditest atau hasil testnya belum keluar, karena terlambat dilakukan, para pasien ini sudah meninggal dulu-kasus di Jakarta terbukti berdasarkan laporan WHO (18-24 Mei 2020), pasien yang positif corona meninggal 38 orang namun PDP (belum dites) malah yang meninggal jumlahnya dua kali lipat yaitu 75 orang.

Memangkas proses PSBB yang ketat hingga melompat langsung ke Transisi dan New Normal Ini menimbulkan pertanyaan besar, atas dasar pijakan apa yang digunakan otoritas pemerintahan dan kesehatan yang mendukung Indonesia melonggarkan PSBB? Teori sains atau ilmu pengetahuan apa yang digunakan atau hanya karena keterdesakan karena terbatasnya keuangan negara untuk memberikan kesejahteraan rakyatnya saat mereka tidak aktif?

Sepertinya ini mungkin jawabannya karena pertumbuhan ekonomi RI yang turun hanya mencapai dua persen dari sebelumnya lima persen  membuat defisit negara makin dalam-apalagi ekonomi RI saat ini bergantung pada hutang bukan pendapatan pajak yang jumlahnya turun drastis karena banyak perusahaan gulung tikar seperti di bidang pariwisata, penerbangan dan tekstil sehingga banyak menimbulkan (PHK) pemutusan hubungan kerja-Bisa dibilang likuiditas perekonomian RI saat ini kering, kata seorang ahli ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline