Kasus kecelakaan pesawat Boeing 737-Max 8 milik Lion Air Indonesia lebih dari setahun lalu dan diikuti hampir lima bulan sesudahnya yang menimpa pesawat berjenis sama milik Ethiopian Airlines ternyata sudah menampilkan titik terang penyebabnya yang terungkap dalam dengar pendapat antara petinggi Boeing , FAA (Badan Penerbangan Amerika Serikat), keluarga korban pesawat Boeing 737 Max 8 milik Ethiopian Airlines dan anggota kongres AS pada Selasa minggu lalu.
CEO Boeing Dennis Muilenburg mengakui bahwa dia sebenarnya tahu penyebab tehnis mengapa kecelakaan Lion Air terjadi namun dia (dianggap atau lalai) tidak melakukan pencegahan untuk mendaratkan (grounded) pesawat tipe itu lebih awal sehingga kecelakaan berulang lima bulan sesudahnya pada Ethiopian Airlines.
Pilot penguji pesawat ini pada tahun 2016 sudah mengetahui resiko pesawat baru ini sebelum FAA mengeluarkan lisensi. Hal ini sesuai dengan temuan KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) bahwa ternyata ada ketidak sesuaian saat proses disain pesawat dan sertifikasinya dengan reaksi pilot saat terjadi kerusakan.
Dalam rekaman komunikasi pesan elektronik antara Mark A Forkner (Kepala Pilot urusan Tehnis Boeing) dan Patrik Gustavsson (Pilot Penguji Boeing) terungkap bahwa Forkner menemukan MCAS kadang-kadang aktif sendiri tanpa diduga saat uji simulator, dan Forkner menyebutnya "mengerikan" (egregious).
Mengenai lisensi layak terbang yang dikeluarkan oleh FAA (Federal Aviation Administration) kepada pesawat tersebut, Forkner mengatakan dia secara tidak sadar (unknowingly) berbohong kepada FAA tentang kelayakan pesawat itu.
Sudah sering diungkap oleh Media bahwa pesawat Boeing 737-Max 8 sebagai varian baru armada pesawat buatan Boeing, Amerika Serikat, adalah pesawat dengan mesin baru yang lebih besar ukurannya dan lebih bertenaga dibandingkan jenis pesawat Boeing generasi sebelumnya, Boeing 731 NG (Next Generation). Mesin baru ini diameternya bertambah dari 155 cm ke 176 cm (nambah 21 cm) sementara bobotnya bertambah berat menjadi 385 kilogram. Keberadaan mesin baru ini yang lebih besar dan berat ternyata memberikan pengaruh kepada faktor aerodinamika dari pesawat ini.
Tambahan mesin ini berpengaruh saat tinggal landas, dan bila ini dibiarkan terus maka pesawat akan terbang dengan sudut mendongak dan bisa berakibat pesawat kehilangan daya angkat (stall) dan jatuh. Oleh karena itu Boeing menyiapkan tambahan perangkat lunak yang disebut MCAS (Manoevering Characteristics Augmentation System) agar pesawat tidak terbang dengan mendongak artinya sistem akan secara otomatis memaksa hidung pesawat untuk merunduk lagi ke sudut normal.
MCAS yang bisa dibilang flight control computer atau komputer pengendali penerbangan dirancang akan secara otomatis menurunkan hidung pesawat bila sensor AOA (Angle of Attack) yang diletakkan di dua sisi hidung pesawat mendeteksi sudut terbang yang terlalu besar (hidung pesawat mendongak) yang berpotensi terkena stall (kehilangan daya angkat) . AOA adalah sudut terbang antara sayap dan hembusan angin (airflow?).Bila ini terjadi MCAS akan menggerakkan (to swivel) ekor atau sirip pesawat untuk menurunkan hidung pesawat.
Namun problem timbul ketika MCAS ternyata hanya mengandalkan masukan data dari satu sensor sudut terbang AOA saja (katakan/asumsi sensor sebelah kanan) padahal masih ada sensor lain yang juga aktif (sebelah kiri) - yang tidak diperhitungkan berpengaruh saat sensor yang jadi satu-satunya input ini (sebelah kanan) tidak berfungsi.
Diduga saat sensor dari AOA (sebelah kanan) tidak berfungsi, MCAS mendeteksi data dari sensor yang lain (sebelah kiri) dan langsung secara otomatis bereaksi dengan menurunkan hidung pesawat padahal pesawat sedang terbang dalam posisi normal. Hal ini terjadi karena pilot tidak melihat sinyal lewat lampu indikator (karena tidak berfungsi) bahwa ada perbedaan AOA antara sensor kiri dan kanan-tanpa informasi visual ini pilot tidak tahu bahwa MCAS bergerak berdasarkan input yang tidak akurat.
KNKT menemukan pemasangan sensor AOA di kiri dan kanan hidung pesawat tidak sesuai (tidak sama) sehingga terjadi perbedaan hingga mencapai 21 derajat. Perbedaan sudut terbang ini dianggap sangat besar karena banyak pesawat stall (kehilangan daya angkat) bila sudut terbangnya antara 15-20 derajat.