Pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran dikabarkan berjalan lebih lama dari yang diperkirakan karena banyaknya tarik ulur keterlibatan pemilik media penyiaran dan juga kepentingan publik yang semakin dikesampingkan. UU Penyiaran ini sebenarnya produk tahun 2002 sebagai manifestasi era reformasi empat tahun sebelumnya dan tiga tahun sesudah UU Pers disahkan. Lantas yang mau direvisi apanya kalau UU ini sudah dianggap pro publik dan kebebasan pers?
Bisa dianggap lebih dari 15 tahun revisi UU ini tak kunjung kelar karena media penyiaran (televisi) dianggap menaungi banyak kepentingan para pemilik karena mampu menjadi sarana yang efektif dan efisien dalam menerjemahkan kepentingannya seperti keuntungan finansial (perolehan iklan), popularitas direngguh (sejumlah stasiun televisi dimiliki sedikit orang), serta dominasi informasi yang kental keberpihakannya kepada pemilik modal yang nota bene juga aktif (stakeholder) di dalam pemerintahan dan dunia politik (partai).
Hal pertama yang sangat konkrit terlihat dari jumlah porsi iklan yang 30 persen dari total waktu program acara, artinya kalau program durasi 60 menit (satu jam) , kontennya 42 menit. Itupun hanya total iklan spot di tiap commercial break-katakan ada enam kali break, tiap break durasinya tiga menit. Dan 'tricky' nya masih ada running text commercial, superimposed , bumperdan aneka varian lainnya yang membuat layar kaca seperti kereta belanja supermarket, pokoknya penuh, padat dan sarat "jualan".
Hal kedua adalah kepentingan pemilik dari pilihan konten program dan terutama berita yang disajikan yang tidak mewakili demokrasi penonton yang heterogen baik dimana mereka berdomisili, pendidikan dan kepentingan program sebagai lokomotif kemajuan dalam pemberdayaan mereka. Artinya televisi dianggap telah melakukan "perompakan" keinginan dan passion publik untuk secara adil memilih berita yang yang jadi keinginan mereka bukan keinginan pemilik televisi.
Hal ketiga publik yang merasa dirugikan dan tidak mempunyai pembela karena Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)seperti dicampakkan dalam pembahasan revisi ini karena KPI hanya diarahkan untuk bahas program saja tapi bukan kebijaksanaan (policy)bagaimana maunya publik tapi maunya pemilik dan stake holdernya.
Hal terakhir adalah keberadaan Organisasi atau Asosiasi Televisi Indonesia yang mengangkangi banyak Televisi baik Nasional dan Daerah tak lebih hanya kepanjangan tangan dari pemilik media tersebut karena yang penting kavling frekuensi tetap didapat dan durasi iklan (untuk mendapatkan pemasukan dan keuntungan) tetap terjamin.
Revisi UU Penyiaran tetap akan makin lama waktunya untuk direvisi dan digolkan jadi UU baru karena dengan adanya tahun politik 2018 dan 2019 dimana baik pilkada,pileg dan pilpres akan berlangsung, pemilik modal stasiun televisi tidak akan mudah dan rela revisi UU Penyiaran akan menggerus kepentingannya.
Penonton dan Publik televisi Indonesia memang harus bersabar karena televisi itu memang padat modal dan return of investment (ROI) cukup lama. Masalahnya itu masalah publik atau pemilik modal? Kan jaringan frekuensinya milik publik katanya?
Always make the audience suffer as much as possible (Alfred Hitchcock) (Buatlah penonton menderita sebanyak dan dan selama mungkin (Alfred Hitchcock)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H