Film monumental ini diproduksi sekitar dua tahun serta mendapatkan tujuh nominasi dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1984,dan memenangkan kategori Skenario Terbaik ternyata memang secara pemasaran sukses dan karena banyak ditonton orang, meraih Piala Citra pada FFI 1985 sebagai film terlaris. Bahkan film ini menjadi tayangan wajib tonton pada setiap tanggal 30 September di televisi (TVRI dan Swasta) pada era orde baru hingga dihentikan penayangannya di televisi pada 1998-saat Presiden ke 2 Indonesia, Soeharto, digulingkan.
Produksi film ini dipimpin oleh sutradara legenda Indonesia, Arifin C Noer, dan sukses menerjemahkan pesan dari film ini menggambarkan betapa kejam dan berbahayanya Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada bangsa Indonesia terutama dalam membunuh dan bertindak keji dan kejam kepada enam Jenderal dan satu perwira menengah (Pamen), yang kelak disebut dengan Pahlawan Revolusi.
Hingga kini kesan film itu sangat terasa karena penggunaan efek close up dan extreme close up untuk menggambarkan raut wajah anggota PKI, yang salah satunya lewat pasukan pengawal presiden,Cakrabirawa, dalam menghakimi para Jenderal di rumahnya seperti yang divisualisasikan lewat penculikan Jenderal Ahmad Yani, Jenderal Panjaitan dan lainnya. Penggambaran yang amat sukses yang secara kontras dan hitam putih menggambarkan di satu sisi ada pahlawan yang baik dan suci disisi lain ada iblis yang amat kejam.
Itulah hebatnya film yang mampu dibuat dengan bahasa gambar yang meyakinkan tidak hanya secara visual tapi juga secara audio baik lewat musik yang menegangkan, sound effect yang menakutkan, ucapan sarkastik dan sindiran yang menyakitkan, seperti ucapan salah satu tentara Cakrabirawa yang meminta Jenderal Ahmad Yani tidak perlu berpakaian lengkap untuk bertemu Presiden Soekarno, ucapan yang tidak hanya menyakiti si Jenderal tapi juga penonton (rakyat) yang mendengarnya.
Penggambaran via musik yang kontras antara kejadian yang akan menimpa Ade Irma Suryani Nasution yang masih siswi taman kanak-kanak dengan kondisi saat pasukan Cakrabirawa ingin menjemput ayahnya Jenderal AH Nasution juga mampu mengharubirukan perasaan penonton, dan memberikan jeda "kesedihan" bagi penonton, bahwa si anak kelak akan jadi korban salah tembak .
Penggambaran hitam putih ini mirip dengan film cowboy (Western) yang meletakkan para pendatang (settlers) dari Eropa sebagai manusia beradab yang hijrah ke tanah impian (Amerika) serta meletakkan penduduk asli Suku Indian sebagai musuh yang tidak berperikemanusian (biadab), padahal sebenarnya tanah milik Indian lah yang dirampas dan dirampok para pendatang.
Nah inilah sebenarnya yang tercermin dalam film ini dengan perspektif pemikiran "lawas" yang menggambarkan manusia secara sederhana. Penggambaran tokoh-tokoh PKI yang hitam putih semacam DN Aidit, Kolonel Untung dan sejumlah tokoh yang dianggap simpatisan PKI menghasilkan ide-ide yang hingga kini menganggap "sejarah kelam" itu benar adanya. Padahal dengan perspektif saat ini banyak pemikiran dan bukti empiris memperlihatkan kejadian chaos itu tidak berdiri sendiri.
Dilihat dari pendekatan produksi film ini sangat nyata kronologis kejadiannya sesuai dengan pesan dari sponsor film ini sehingga runut dan detil padahal kita juga mafhum bahwa sejarah itu terserah dan tergantung pemenangnya atau yang memproduksinya. Contoh film Rambo yang memberikan cap pahlawan kepada eks tentara AS adalah semacam "pembenaran" bahwa Amerika Serikat tidak kalah pada perang Vietnam, padahal faktanya AS dipermalukan dalam perang tersebut sehingga harus kembali ke negaranya . Hal ini juga sangat nyata terlihat pada buku-buku sejarah Jepang yang tidak menampilkan secara terinci perilaku tentara beladiri Jepang yang kejam, biadab dan tidak berperikemanusiaan kepada negara-negara Asia jajahannya, termasuk Indonesia.
Dilihat dari gaya dari film ini, ada usaha untuk membuatnya secara realistis (realisme), namun tidak bisa dipungkiri untuk lebih meyakinkan adegannya dibuat berlebihan (formalisme) agar nuansa dan aura "ketakutan" itu timbul sehingga gambarkan apa itu PKI atau Komunisme itu adalah sebuah momok (spectre) yang harus dibasmi dan dibumihanguskan.
Sejumlah ahli perfilman mengemukakan perihal hal ini seperti yang dikatakan Andre Bazin, kritikus film dari Perancis, "One way of understanding better what a film is trying to say is to know how it is saying it". Form and content depends each other (bentuk dan isi sebuah film itu saling tergantung satu sama lain). Serta juga oleh Herman G Weinberg , seorang kritikus asal Amerika : "The way a story is told is part of that story. You can tell the same story badly or well. It depends on who is telling the story". Artinya isi suatu film adalah bentuk (presentasi) dari film itu sendiri, dan bisa jadi sejumlah adegan dalam film G30S PKI ada rekayasa baik untuk kepentingan sponsor dan juga untuk film itu sendiri agar lebih menarik, otentik dan punya nilai jual.
Adanya ide pembuatan film G30S/PKI versi baru atau kontemporer, sebaiknya memang dilakukan agar sejarah kelam ini tidak terulang lagi namun pendekatannya harus ke masyarakat penonton saat ini yang paradigma berpikirnya sudah jauh berbeda. Dan pada pokoknya para kreator film yang kelak dipercaya memproduksi film ini harus punya posisi tawar yang memadai agar tetap ada di posisi netral sehingga setiap kepentingan pro dan kontra menyangkut peristiwa kelam ini terakomodasi dengan baik. Bukankah pada akhirnya film itu adalah produk kebudayaan dan juga seni yang menggambarkan peradaban dan bukan kebiadaban suatu bangsa?