Peristiwa Pilkada DKI tahun 2017 ternyata membuat kita menjadi lebih melek dan “ngeh" bagaimana media dibuat dan diperlakukan sebagai budak kepentingan shareholdernya agar tujuan politik pemegang sahamnya tercapai.
Beberapa media secara kasat mata dan tanpa malu menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu paslon (Pasangan Calon) dengan mengedepankan program-program yang diusulkannya, mengundang nara sumber yang mendukung paslon tersebut atau yang bersimpati kepadanya serta memberikan porsi slot waktu lebih banyak untuk memberikan kesempatan mempromosikan program dan profilnya baik langsung yang berhubungan dengan program maupun yang tidak langsung.
Dilihat dari konten program yang mementingkan kepentingan rakyat (pemilih) justru mendapatkan porsi lebih sedikit sebagai contoh curhat para penghuni apartemen rusunawa yang harus “diusir” dari rumah aslinya dengan alasan normalisasi sungai atau rencana tata kota pada saat debat terakhir KPU-Pilkada DKI ,malah akhirnya dipersalahkan kehadiran dan partisipasinya karena mengajukan pertanyaan tentang masalah ini ,sesuatu paparan yang dianggap isu sensitif dan punya potensi akan menjatuhkan popularitas salah satu paslon. Bahkan usulan rumah dengan DP 0 persen yang diusulkan oleh salah satu paslon, didebat habis dengan alasan tidak mungkin dan tidak masuk akal. Bukankah seharusnya ide ini ,bila untuk kebersamaan dan kemashalatan banyak orang, digodok dan diterjemahkan dengan pembelaan kepada mereka dan bukan memojokkan yang mengusulkan?
Mengapa media (televisi) menjadi partisan seperti ini? Bukankan kebebasan berpendapat dan demokrasi mengeluarkan ekspresi adalah buah dari reformasi 1998 sebagai hasil kerja keras dengan pengorbanan darah dan air mata dari seluruh rakyat menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang berkuasa 32 tahun dan bertangan besi?
Rakyat atau Publik sudah “memenangkan” kepemimpinan negeri ini ditangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) , walaupun belakangan “kekuasaan ini” akhirnya dikorup oleh DPR dengan mengeluarkan banyak aturan yang menguntungkan mereka secara sepihak semisal kasus Mega Korupsi KTP Elektronika. Nah sekarang masalah frekuensi publik yang dikuasai oleh sejumlah pemilik yang juga petinggi partai politik yang punya kepentingan ekspansi bisnis dan politik, apakah rakyat masih harus dibohongi lagi? Sejumlah tayangan malah membuat publik tidak hanya dilangkahi tapi juga dikerdilkan perannya untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya atau yang objektif.
Kebebasan mengeluarkan pendapat itu dijamin oleh Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia), artinya media sebagai alat komunikasi dan informasi harus menerjemahkannya dengan menjamin informasi yang disampaikannya apa adanya (dengan tetap memperhatikan kepentingan keamanan nasional diatasnya) kepada publik bukan yang bias apalagi yang pesanan alias propaganda.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir industri media (televisi) seperti kebablasan karena pemerintah seperti “tidak berdaya” alias tidak punya senjata menghentikan ekspansinya baik dalam kepemilikan dan frekuensi yang dimiliki mereka (Jadi bukan saja demokrasi tapi juga media televisi yang partisan juga kebablasan). Frekuensi publik ini terlihat tidak pro publik yang memilikinya namun jadi corong pemilik yang lebih pantas disebut “penyewa”.
Pemerintah terlihat seperti “abai” dan melakukan pembiaran komersialiasi dan konglomerasi televisi untuk kepentingan sang pemilik dan share holdernya dalam melakukan ekspansi bisnisnya. Ada kesan pemerintah membiarkan pemilik stasiun televisi mempunyai mainan yang tidak perlu dikontrol dan dipertanggung-jawabkan baik sebagai kompensasi atau alasan lainnya; sejumlah konten malah menunjukkan selera dan orientasi parpol tertentu yang dimiliki pemilik televisi ini.
Pertanyaannya apakah hingga lima hingga sepuluh tahun mendatang tayangan dan perilaku televisi akan tetap seperti ini? Ingat televisi itu pemersatu bangsa dan menjadi ujung tombak keberagaman manusia Indonesia dan keanekaragamaan adat dan kebudayaan Indonesia. Jangan sampai Pemerintah lalai dan membiarkan televisi bermain dan mengatur dirinya sendiri sementara rakyat hanya dibutuhkan ketika memerlukan ijinnya saja.
Untuk menjamin objektivitas informasi media (televisi), perlu ada pengaturan baru tentang kepemilikan televisi, hak dan kewajiban penyewa frekuensi publik, informasi untuk kepentingan pemberdayaan publik harus lebih banyak porsi dan slotnya, memperkuat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sehingga memiliki wewenang mempidanakan pengelola televisi yang “nakal” atau menyiarkan konten yang tidak layak, pengaturan durasi program agar layak tayang dengan jumlah iklan yang proporsional, dan terakhir merevitalisasi TVRI agar mampu menjadi televisi corong rakyat/publik dengan dukungan pemerintah yang kuat dan bisa bersaing dengan televisi swasta nasional lainnya (artinya BUMN TVRI diperkuat anggarannya dan dikelola secara profesional bukan malah jadi beban keuangan negara)
Lewat pengaturan ini diharapkan informasi yang diberikan akan terjamin lagi keimunannya dari campur tangan pihak lain dan menjadikannya hanya sebagai tunggangan untuk memperluas ambisinya dalam mendominasi berita untuk kepentingan mereka sendiri, terutama bagi pers yang meletakkan objektivitas (objectivity) sebagai salah satu dari sepuluh prinsip jurnalisme selain verivikasi (verification) , keaslian (originality) , kelengkapan (completeness), transparansi/keterbukaan (transparency), menahan diri (restraint), kemanusiaan (humanity),pemberdayaan ( empowerment), keadilan (fairness) , dan pertanggung-jawaban (accountability).