Lihat ke Halaman Asli

Iwan Permadi

TERVERIFIKASI

Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

Leo Di Caprio & Pemanasan Global

Diperbarui: 28 Desember 2016   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film Before The Flood yang diproduseri Leonardo di Caprio, peraih Piala Oscar 2016, dalam film Revenant, memang menarik untuk ditonton karena selain kehadiran Leo sebagai pemeran utama sekaligus Naratornya. Film yang ditayangkan pertama kali di National Geographic, pada 30 Oktober 2016 ini ditayangkan di 171 negara dan diterjemahkan kedalam 45 bahasa. Artinya film pengetahuan tentang bahaya pemanasan global ini bisa disaksikan penonton yang tidak bisa berbahasa Inggris.

Konten film ini juga menunjukkan latar belakang Leo sebagai pencinta lingkungan hidup sejak pertama kali mewancarai Al Gore dan Presiden Bill Clinton pada tahun 2000. Tapi dia mengakui dia sama sekali tidak mengerti dengan Global Warming (Pemanasan Global) yang saat ini istilahnya “diperhalus” dengan sebutan Climate Change (Perubahan Iklim).

Sebagai salah satu produser dari film dokumenter ini, Leo terjun mengunjungi berbagai tempat untuk membuktikan bahwa Climate Change itu ada dan bukan khayalan/ilusi. Seperti diketahui penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara telah menghasilkan gas CO2 yang terjebak akibat efek gas rumah kaca sehingga memantul kembali ke bumi dan bersemayam di samudra lalu mempengaruhi runtuhnya gunung es di kutub dan menyebabkan tingginya permukaan  air laut naik dan banyak pulau tenggelam termasuk banyak terjadi di Indonesia. Dan itu baru salah satu akibat dari climate change belum yang lainnya.

Ada footage Di Caprio dengan mantan Sekjen PBB,Ban Kim Moon, berpidato di sidang PBB dan sejumlah footage dari filmnya, The Revenant, yang memenangkan Oscar 2016.  Sebagai pembanding atau referensinya, pada awal cerita, Di Caprio mengambil sebuah kisah abad ke 15, karya dari Hieronymus Bosch, berjudul The Garden of Earthly Delights, semacam gambaran manusia yang hidup makmur dan sejahtera namun mengalami kehancuran pada akhirnya karena cara hidup yang salah.

Namun bukti-bukti aktual dan nyata tersebut tentang adanya perubahan iklim juga secara gamblang menceritakan kelompok perusahaan minyak dunia yang menganggap perubahan iklim itu ilusi dengan dukungan sejumlah politisi di Senat AS dan ahli-ahli lingkungan yang “dibayar” untuk mengingkari adanya bukti empiris terjadinya perubahan iklim (The Climate Change is the Greatest Hoax). Kumpulan klip dari para senator yang anti climate change serta diakhiri dengan ucapan anti dari Presiden terpilih AS, Donald Trump membuat dokumenter ini menjadi menarik karena adanya konflik yang membuat penonton terus berpikir dan ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Kunjungan Di Caprio ke China menjadi saksi bagaimana China telah melewati Amerika Serikat sebagai penghasil polusi udara (CO2) terbesar di dunia. Kunjungan ke India, Di Caprio, mendapatkan informasi 300 juta rakyat India belum mendapatkan listrik, atau sama dengan seluruh populasi Amerika Serikat. Apa yang bisa dilakukan di India dalam menanggulangi hal ini, adalah memanfaatkan batu bara yang merupakan pertambangan besar, nomor tiga atau empat  dunia, sayangnya ini disebut bahan bakar fosil pembuat climate change. Seorang ahli dari India justru tidak bisa menerima kesalahan ditimpakan kepada India/negara berkembang, karena faktanya penggunaan listrik satu orang Amerika itu sama besarnya dengan 33 orang India. Kunjungan ke sejumlah negara kepulauan di Pacific, membuktikan, betapa abrasi menghancurkan pantai dan menenggelamkan pulau-pulau.

Di Caprio pun dengan wahana kapal selam kecil melihat kerusakan bawah laut yang diakibatkan oleh global warming sehingga tidak ada ikan yang bisa dijaring nelayan, padahal satu milyar orang memerlukan protein dari ikan tangkapan dari laut. Perbuatan yang membuat banyak nelayan menganggur dan mengalami kemiskinan adalah sebuah tindakan kejahatan/kriminal (AS kepada negara miskin). Dalam 50 tahun terakhir, 50 persen Coral dunia lenyap!.

Kunjungan ke Indonesia di langit Sumatera saat kebakaran hutan, menunjukkan jarak pandang lewat udara sangat tipis. Rain Forest yang ada di dunia tugasnya menyerap gas CO2 dari udara dan menyimpannya didalam daun dan organ tumbuhan lainnya, namun adanya pembakaran hutan untuk dibuka lahan baru maka membuat  gas CO2nya terlempar kembali ke atmosfir. Indonesia adalah salah satu dari  tiga hutan tropikal tersisa di dunia selain di Amazon, Amerika Selatan, dan Congo, Afrika Barat. Hutan di Indonesia dibakar, dan tanahnya ditanami kopra untuk menghasilkan minyak goreng, detergen dan kosmetik yang sebenarnya bukan produk mahal-tapi justru mahal ongkos lingkungannya karena merusak hutan. Perusahaan penghasil produk ini mendapatkan keuntungan luar biasa. Sangat menyedihkan mendengar dan melihat di Taman Nasional Gunung Leuser sebagai tempat terakhir Orang Utan, Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera hidup di lingkungannya yang liar.

Kisah-kisah ini baru sebagian dari film berdurasi 90 menit ini dan bagi anda pemerhati lingkungan, film ini sangat meninspirasi walapun kritik pribadi banyak muncul ke figur Leo sendiri yang gaya hidupnya tetap jetset dan seperti banyak orang Amerika lainnya sulit untuk berganti gaya hidup. Hanya saja lewat tayangan ini generasi baru rakyat AS dapat menjadi pioner penggunaan energi terbarukan yang murah dan tidak menggunakan bahan bakar fosil lagi dalam meneruskan pembangunan dan gaya hidupnya.  Sesuatu yang masih pro kontra di AS.

Global warming isn't a prediction. It is happening. (James Hansen)

Ref :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline