Lihat ke Halaman Asli

Iwan Permadi

TERVERIFIKASI

Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

Akreditasi Sekolah Manfaat atau Bencana?

Diperbarui: 6 September 2016   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Tuntas sudah saya mengikuti proses Akreditasi di sebuah sekolah lanjutan pertama yang berlangsung dua hari yang cukup padat. Persiapan untuk memenuhi syarat dari delapan standar untuk sekolah dan empat standar untuk guru bisa dilalui secara mulus walaupun di sana-sini ada catatan. Bukan catatan pinggir tapi catatan agar dibenahi yang masih kurang. Jujur saja tugas administrasi tidaklah mudah dilakukan apalagi kalau sambil  mengajar sesuai RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) berdasarkan KD (Kompetensi Dasar)  yang diinginkan.

Pada dunia pendidikan saat ini manfaat akreditasi tentu jangan ditanya karena besar sekali peranannya bagi keberlangsungan sekolah yang pada gilirannya melibatkan guru dan terakhir kepada peserta didik agar mendapatkan kelayakan dalam bersekolah. Nah inilah sepertinya yang ingin diukur oleh para Assesor (penilai) yang hadir karena mendapatkan tugas. Yang dicari apalagi kalau bukan memverifikasi bukti-bukti pendukung sesuai dengan files dan lampiran yang telah disiapkan administrasi dan tata usaha sekolah.

Arahan dari para assesor memang yang ditunggu karena informasi dari mereka besar kegunaannya bagi sekolah yang biasanya akan terlihat dalam penilaian hingga lima tahun kedepan. Sekolah pun harus secara jujur dan kasat mata menginformasikan fasilitas apa yang mereka miliki dan upaya apa yang mereka lakukan agar kegiatan belajar mengajar memang layak sesuai standar yang diinginkan. Bagaimana fasilitas perpustakaan, lapangan olahraga, laboratorium, toilet, parkir dan lain-lain wajib diinformasikan dan dibuktikan kelayakannya. Lantas bagaimana para guru ketika mengajar, apakah sesuai RPP atau tidak?

Bagi sekolah yang menginginkan nilai bagus dari assesor memang harus berupaya keras agar sekolah yang dipimpinnya minimal sama tingkat nilainya dengan akreditasi pada lima tahun sebelumnya. Bagi sekolah umumnya nilainya bertahan dan tidak turun saja sudah alhamdulillah, apalagi sampai naik gradenya.  Tapi sebaliknya bagi sekolah yang tidak menganggap akreditasi serius, tentu para assesor pun tidak ragu untuk menilai buruk performa mereka. Dan bila sampai nilainya terbawah seperti E, tentu bisa saja ada sanksi untuk menghentikan operasional sekolah tersebut.

Kembali ke soal pendidikan yang memuliakan anak didik yang juga warga masyarakat proses akreditasi harus disikapi secara positif karena standar pendidikan akan selalu berubah sesuai dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan perkembangan dunia yang sarat dengan teknologi saat ini. Ukuran-ukuran yang digunakan pada pendidikan saat tahun 80an dan 90an tentu sudah tidak relevan dengan ukuran abad 21 ini.

 Seperti halnya guru dulu dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi dan pengetahuan, saat ini tidak lagi. Guru saat ini harus mampu bermain cantik baik sebagai sumber informasi, tapi juga fasilitator pendidikan. Guru pembelajar istilahnya yang mampu bermain atas (menggali informasi secara kreatif) dan bermain bawah (beradaptasi dengan kondisi kekinian yang dibawa oleh peserta didik). Artinya guru saat ini haruslah secara demokratis menghargai pendapat murid dan tidak bisa otoriter alias yang paling benar.

Dengan adanya akreditasi sebenarnya guru banyak dibantu agar proses mengajar dan mendidiknya terus dipacu dan disempurnakan agar sesuai dengan target kekinian yang banyak ditopang oleh perkembangan jaman dan hubungan internasional. Sebut saja soal MEA, atau Masyarakat Ekonomi Asean dimana output pendidikan negeri ini harus mampu bersaing dengan produk dari negara ASEAN lainnya yang berjumlah 10 negara ini. Lantas bagaimana strateginya agar kita bisa menang bersaing? Minimal lulusan SMA dan Perguruan Tinggi harus mampu berbahasa Inggris dengan baik dan menguasai keterampilan tehnis lainnya. Bahkan banyak negara lain di dunia mempersiapkan tenaga kerjanya minimal dengan dua keahlian Matematika dan Bahasa Inggris.

Pertanyaannya apakah akreditasi ini cuma disikapi oleh para stake holder ataupun share holder pendidikan sebagai rutinitas semata? Bila hanya itu saja targetnya, sayang sekali akreditasi yang dilakukan secara serius dan terencana ini serta menggunakan anggaran tidak sedikit,  ternyata hanya untuk menggugurkan kewajiban saja.

The human spirit lives on creativity and dies in conformity and routine. (Vilayat Inayat Khan)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline