Lihat ke Halaman Asli

Iwan Permadi

TERVERIFIKASI

Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

Oh Elit, Ekonomi Sulit...

Diperbarui: 4 September 2015   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya bukan ahli ekonomi, tapi tulisan Anwar Nasution berjudul Ekonomi 2015 dan Krisis 1997, Kompas Cetak, Rabu, 02 September 2015 membuka mata saya betapa kondisi ekonomi saat ini memang parah dan payah. Sebagai seorang Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi UI dan mantan pejabat pemerintahan berkali-kali, Pak Anwar bukanlah orang sembarangan dengan tulisannya.

Tulisan yang membandingkan krisis ekonomi 1997 dan Ekonomi 2015 menggambarkan betapa gembar-gembor fundamental ekonomi Indonesia yang kuat itu sebenarnya tidak seperti itu. Artinya istilah yang diambil dari krisis ekonomi 1997 itu untuk ukuran saat ini mirip. Ada empat gangguan eksternal yang mengancam Indonesia dan terlihat tidak ada upaya dan kebijakan dari pemerintah untuk mengatasinya. Waduh! Empat gangguan itu yaitu Nilai Tukar Rupiah yang merosot, suku bunga bank yang meningkat, menurunnya ekspor dan tingkat harga ekspor di pasar dunia dan kegagalan panen di sentra produksi padi. Sudah nggak banget di luar, di dalam negeri juga kacau. 

4 faktor disebut konkritnya menyebutkan turunnya permintaan komoditas primer sehingga harga internasional produk tersebut jatuh, kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS, the Federal Reserve System membuat aliran modal dari Indonesia kembali ke AS (ini juga membuat suku bunga pinjaman dalam bentuk US Dollar oleh pemerintah dan dunia usaha naik-berakibat juga harga saham, SBI dan SUN pun jatuh). Dua lainnya, musim kemarau panjang menggagalkan panen dan terakhir devaluasi Yuan yang membuat nilai produk China yang dimpor ke Indonesia jadi lebih murah. 

Bicara Krisis 1997, Anwar Nasution, mengungkapkan sebelum krisis itu terjadi, Bank Indonesia (entah siapa Gubernur BInya saat itu), selalu mengatakan industri perbankan sehat, CAR (rasio kecukupan modal) cukup, dan rasio kredit macet sangat kecil-karena sebagian besar kredit bank adalah kredit program yang diasuransikan Askrindo. Dan sumber dana pun disediakan BI lewat kredit likuiditas. Begitu ceritanya....berita yang menenangkan ya, tapi ternyata itu semua ILUSI! 

Menurut Anwar, pemeriksaan BI kepada bank-bank yang akhirnya sebagian besar kolaps hanya menyangkut apakah kredit sudah disalurkan sesuai sasaran atau belum, dan tidak MEMPERHITUNGKAN delapan (8) jenis resiko yang dihadapinya (jadi kerja orang BI saat itu ngapain ya?). Pemeriksaan pembukuan bank pun banyak BOHONGnya sehingga harus diperiksa ulang kantor akuntan internasional pasca krisis (waduh memalukan krisis 1997). 

Hal lainnya yang terbongkar kemudian, Krisis Ekonomi 1997 terjadi karena banyaknya pinjaman luar negeri sektor korporat (atau keparat) yang tidak dilaporkan ke BI (karena aturan boleh tidak melapor),jadi BI tidak tahu jumlah utang luar negeri swasta (kok bisa ya). Dan ini lucunya baru ketahuan jumlahnya ketika hutang luar negeri para keparat harus diambil pemerintah. Hutang swasta, ditanggung rakyat! Dan kebanyakan dari swasta ini memang kroni Orde Baru yang meminjam kredit jangka pendek dalam mata uang asing dari bank di luar negeri (Pinjamnya US dollar dalam jangka pendek, cari duitnya rupiah dan sementara proyeknya jangka panjang, begitu nilai dollarnya naik, minta tolong pemerintah karena kolaps).

Refleksi jaman reformasi saat ini ternyata hutang swasta juga banyak dan lebih luas cakupan bidangnya seperti di sektor pertambangan, perkebunan, real estate, perikanan, transportasi/perhubungan darat dan udara, dan pariwisata. Dan sama modusnya seperti jaman krisis ekonomi 1997, para pengusaha gelap ini menyimpan hasil uang ekspornya di Singapura dan tidak melaporkan berapa jumlah pinjaman luar negerinya. Para pengusaha dan pastilah penggelap pajak ini banyak dibeking pejabat. Klop dah....pengusaha dan penguasa kongkalingkong...dan akhirnya rakyat Indonesia kebanyakan....tetap miskin. 

Hal lainnya, baca terus artikelnya.....thanks Pak Anwar Nasution atas pencerahannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline