Lihat ke Halaman Asli

Iwan Permadi

TERVERIFIKASI

Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

Apa Kabar Hell's Kitchen Indonesia?

Diperbarui: 8 Juli 2015   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lama tak menonton program ini, ternyata ada hubungannya dengan perubahan jam tayangnya. Program Reality Show dengan latar belakang audisi menjadi tukang masak terjago ini awalnya ditayangkan pada sore hari, tiap Sabtu, jam 17:00 hingga 18:30 tapi memasuki episode ke 8 ditayangkan pukul 22:30. Rating dan share program ini awalnya (eps 1) sempat tertinggi mencapai 2.6 dengan share mencapai 14.3. Sedangkan saat itu share rata-rata SCTV 15.2, tidak jauh artinya program ini punya potensi menyamai dan melewati share SCTV. Namun faktanya Hell's Kitchen (HK) hanya mendapatkan rating 2.1 dan share 11.8 terakhir sebelum dipindahkan ke jam tayang malam. 

Lucunya saat dipindahkan ke jam tayang malam pukul 22:30-24:00, ratingnya turun ke 1.6 tapi sharenya naik ke 13.5, bahkan sharenya melebihi rata-rata share SCTV yang 12.8. Perpindahan ini promosinya sedikit sehingga banyak pemirsa tidak menyadari program ini tayang lebih malam. Dan yang lebih "kacau" lagi saat program episode ke 9, tayangan malam HK yang kedua, jam tayangnya malah lebih malam 23:30 hingga 25:00 (Jam 1 dini hari). Anda bisa bayangkan yang nonton program ini di wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur, menontonnya dari pukul 24:30 dan 25:30....acara ini lebih cocok disebut konsumsi penonton yang begadang atau yang sulit tidur (insomnia). LOL!

Rupanya perpindahan jam tayang ada hubungannya dengan trend penurunan share dari 15 diawal episode hingga cuma dapat 11 di episode ke 6. Ini jelas trendnya tidak sesuai harapan yang harusnya makin naik..ini makin menukik. Wajar pihak Stasiun harus bertindak cepat. Dan faktanya, kelas penonton ABC di 10-11 kota, yang menjadi target potensial program ini juga makin menurun ketertarikannya, dan ini pasti ada penyebabnya?

Berita buruk berikutnya saat ditayangkan di malam hari hingga episode 15, rating dan sharenya pun jeblok, 1.2 dan 11.9 yang akhirnya mungkin membuat SCTV menunda penayangan selanjutnya dengan tayangan langsung sepak bola Liga Inggris. Jadi ada 4 episode program ini tidak tayang sesuai dengan jadwal. Program yang harusnya selesai dalam 26 episode, ini sepertinya baru akan berakhir pada Agustus 2015.

Kekuatan HK adalah presentasinya yang ekstrim dimana Chef Juna dibantu dua asistennya melatih para calon chef handal untuk bisa berkiprah melewati ujian dan tes baik tehnis dan psikis untuk menjadi yang terbaik. Juna yang sebenarnya dikenal sebagai chef yang "cool" berubah menjadi temperamental. Entah apakah memang harus mengikuti formatnya seperti itu namun seharusnya itu tidak jadi faktor utama. Harus ada "success story" dari peserta yang bisa divisualkan secara menarik, sehingga penonton mau mengikuti si jagoannya ini. Namun yang justru menonjol adalah "karakter" Juna yang buat masyarakat Indonesia 'budayanya" rada aneh...kasarnya ini kayak di dunia lain..jadi sudah nggak "real" lagi. Ditambah dengan sumpah serapah menggunakan Bahasa Inggris, ini makin menjauhkan program dan penontonnya. Hasilnya ya  program ini jadi segmented sepertinya dan akhirnya memang cocok ditayangkan malam hari untuk kalangan penonton dewasa. 

Hal lain yang mungkin agak subjektif adalah pemilihan kontestan dari kalangan bukan artis membuat program ini semakin berat diangkatnya. Seperti program talent show lainnya, seleksi peserta biasa akan lebih berat karena tampilan kontestan biasa tidak hanya terampil tapi juga "good looking". Namun di HKI, sedikit yang good looking, maaf. Sekali lagi acara televisi itu buat penonton yang menonton dan bukan untuk yang memproduksi atau kru di lapangan. Sejumlah penonton merasa ada yang tidak "natural' disini. Sejumlah penonton mengatakan agak "gerah" melihat Juna , nggak ada alasan yang jelas, tiba-tiba ngamuk. Ada juga penonton yang menonton acara ini malah ingin cepat-cepat berganti channel. Kalau HK itu perang, tapi kok "rasa" perang antar kontestan tidak terlihat, yang ada Juna perang sama piring dan makanan yang rasanya tasteless.Sayang sekali program keren ini kok jadi begini ya? 

Tapi sebenarnya bukan Hell's Kitchen saja , program format luar yang mengalami nasib yang sama , coba lihat The Apprentice dengan hostnya saat itu, Peter Gontha, dan The Choice juga punya nasib serupa. Artinya memang keterampilan mengadaptasi suatu program memang harus didukung unsur budaya yang mengikutinya. Indonesian Idol, XFactor, Master Chef dan lainnya bisa dikemas sesuai dengan "keinginan" penonton karena budaya yang dekat. Bila dalam the Apprentice,ada ungkapan anda dipecat! You're fired! Itu terasa sudah keras apalagi hingga dimaki-maki dan dibuang hasil masakannya karena kesalahan yang mungkin masih bisa termaafkan. 

Apa yang pernah diutarakan oleh Garin Nugroho, patut dipertimbangkan, adaptasi kreatif itu perlu tapi sensitivitas lokal itu juga perlu diprioritaskan. Coba anda bandingkan menonton tayangan film Hollywood yang pakai dubbing dan pakai subtitle ternyata sangat dalam sekali perbedaannya, karena bahasa kadang tidak perlu harus diucapkan...dengan mimik dan gesture...penonton sudah tahu apa maksudnya. Nah disinilah faktor "tempo" dimainkan...dan ini yang akan mengaduk-aduk perasaan penonton...dan hasilnya tontonan yang ditunggu. Jadi rasa "kompetisi", "perang", "persaingan" dan "neraka" itu bisa dirasakan penonton lewat gerak hati (movement) bukan unjuk fisik dan psikis yang kadang kurang wajar alias tempelan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline