Lihat ke Halaman Asli

Iwan Permadi

TERVERIFIKASI

Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

Siapa Suruh Datang ke Jakarta?

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14273278571039144829

Pergi setiap hari menuju Jakarta dengan menggunakan kendaraan pribadi sebenarnya melelahkan tapi bagi saya cukup efisien ketimbang menggunakan kendaraan umum yang masih belum 100 persen bersahabat dengan waktu. Hampir setiap hari kemacetan yang menjadi musuh pengguna jalan mewarnai kehidupan lingkungan di Jakarta yang makin suram dengan polusi baik asap kendaraan serta sampah bejibun. Nyaris tidak ada tempat di sudut kota dari Senin hingga Sabtu yang tidak macet dan lancar.

Jalur Bekasi ke Jakarta yang saya lewati baik lewat tol dan non tol sangat-sangat padat. Mau lewat Cakung, Kali Malang, Cawang dan lainnya pada saat jam sibuk jam 05 hingga 10 pagi semuanya tumpah ruah, hiruk pikuk dan hustle & bustle...membuat jalan-jalan yang sebenarnya lebar namun jadi terlihat sempit. Jarak antara satu kendaraan dan kendaraan lainnya sangat dekat dan memang tidak ada jarak lagi..bumper to bumper..jadi tak jarang banyak senggolan terutama sepeda motor dan spion mobil disebelahnya. Belum lagi hari-hari bertemperatur panas (33-34) derajat Celsius dan kadang-kadang tiba-tiba hujan deras dan jalanan jadi banjir dan tergenang menjadi teman karib kita setiap hari.

Kompleksnya Jakarta tidak lain karena kota ini sudah "terlalu padat akan manusia dan kendaraan bermotornya". Kalau ingat lagu grup band Inggris, Genesis, dengan lead vocalnya, Phil Collins, lagu "Land of Confusion" tepat digambarkan untuk Jakarta, seperti dalam liriknya, "too many people...too many problems". Jadi siapapun pemimpin dan pejabat di kota ini memang harus punya mental baja karena aneka jenis manusia ada disini - katakanlah ada 3 jenis manusia seperti yang disindir sudah insaf, dimarahin baru insaf dan terakhir yang musti didenda dan dipenjara baru insaf.  Jakarta adalah miniatur Indonesia sesungguhnya antara keindahan dan keburukan jadi satu.

Ada yang mengatakan cermin lalu lintas di jalan adalah cermin masyarakatnya itu benar adanya. Menyerobot lampu lintas disaat bukan waktunya sudah menjadi rahasia umum dan uniknya bila terjadi tabrakan yang melakukan pelanggaran justru urat tidak warasnya malah makin kuat. Ini sama dengan istilah orang yang berteriak-teriak mengkritik sesuatu, nggak tahunya kritikannya salah. Istilah bahasa Jawa, "Wis banter, salah!" atau "Sudah keras volume suaranya, eh nggak tahunya salah!'

Problem lain yang mengganggu adalah jalur busway yang memakan 1/3 dan 1/4 jalan sementara 2 atau 3 jalur lainnya untuk sepeda motor dan roda empat yang sangat banyak jumlahnya. Faktanya yang kita lihat sehari-hari sepeda motor masuk jalur busway dan tidak ada yang mampu menghentikan...disini sudah terlihat hukum tidak berjalan..karena tidak ditilang dan ini jelas tidak fair dengan sepeda motor lain yang berjibaku di jalur di luarnya, seperti yang saya lihat di jalur busway Cawang hingga Kuningan.

Aneka kendaraan tua semacam bajaj dan metromini serta petugas kebersihan dengan gerobak tariknya juga membuat jalan jadi tersendat dan membuat pengguna kendaraan bermotor melaju pelan dan berhenti mendadak dan kadang-kadang malah stuck (terjebak). Dengan aneka permasalahan ini bila jumlah kendaraan berlipat kali jumlahnya dan panjang jalan dengan deret hitung...tidak hanya populasi yang diramal Robert Malthus dua abad lalu, maka jalanan di Jakarta mungkin akan berhenti total.

Perubahan-perubahan agar Jakarta dan transportasinya segera dibuat nyaman memang tidak akan memuaskan banyak orang karena pembangunan-pembangunan yang terjadi sekarang memang mengganggu jalur jalan yang sudah padat malah semakin padat. Lihat pembangunan Jembatan yang menghubungkan Jl.Tendean hingga Cileduk dan MRT yang proyeknya dikerjakan dalam waktu bersamaan, membuat pengguna jalan makin berkeringat dan emosi setiap harinya.

Lucunya dan juga sudah jadi rahasia umum, disaat ada kemacetan dan kepadatan lalu lintas serta disaat-saat jalan tergenang setelah hujan mengguyur, jarang ada Petugas Polisi Lalu Lintas yang bertugas, coba kalau jalanan sedang sepi, banyak polisi berkerumun melakukan pemeriksaan dan menilang kendaraan. Serba paradoks tinggal di Jakarta tapi yang sudah pasti hanya satu, kita nggak bisa mengandalkan Ahok seorang sebagai Gubernur DKI dalam membenahi Jakarta, karena kalau Jakarta milik kita, maka seharusnya membuat Jakarta jadi Comfort Zone, harusnya tugas seluruh masyarakat sebagai stake holdernya. Jadi Sapa Suruh Datang ke Jakarta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline