Lihat ke Halaman Asli

Ipa Selfia

Mahasiswa

Definisi Hukum perdata Islam dan Dampak Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia

Diperbarui: 30 Maret 2023   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : ipa selfia

Nim : 212121072

1. Pengertian Hukum perdata islam di indonesia ?

Jawaban :  Hukum perdata islam di indonesia termasuk hukum positif yang berlaku dari berbagai macam ketentuan hukum, dimana setiap golongan penduduk yang berbeda itu mempunyai sistem hukumnya masing-masing.

Jadi hukum perdata islam juga mempelajari sebagian hukum islam secara yuridis formal atau hukum positif dalam tata hukum di indonesia. Sebagai hukum di indonesia menyangkut muamalah

2. Prinsip perkawinan dalam UU 1 tahun 1974 dan KHI

Jawaban :  prinsip perkawinan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974
1. Membentuk keluarga yang kekal
2. Pernikahan yang sah sesuai agama atau kepercayaan masing-masing
3. Monogami terbuka mendapat izin dari pengadilan
4. Batas laki- laki dan perempuan 19 tahun supaya mengurangi pernikahan dini dan kematangan mental
5. Putusan perkawinan harus kepengadilan tidak boleh hanya ucapan tujuanya unutk mempersulit persidangan
6. Kedudukan suami dan istri seimbang/ sekufu tidak boleh subordinasi

Prinsip menurut KHI
1. Pernikahan adanya persetujuan dari mempelai
2. Larangan kawin sebab larangan nasab persusuan
3. Terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan
4. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga samawa
5. Hak dan kewajiban suami dan istri seimbang tidak ada diskriminasi
6. Secara sukarela
7. Adanya masa iddah biar tidak tercampuri nasab
8. Adanya kewajiban membayar
mahar
9. Poligami

3. Pendapat tentang pencatatan perkawinan dan dampak tidak dicatatkan secara sosiologis,religious dan yuridis
Jawaban :
perkawinan yang sah bukan hanya sah menurut ketentuan agama, tetapi juga harus sesuai dengan hukum negara. Perkawinan yang sah menurut hukum negara, wajib dilaporkan dan tercatat pada instansi yang berwenang.
Setiap perkawinan pada dasarnya harus dicatat agar terjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi suami isteri beserta akibat hukumnya, yang menandakan pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi, selain harus memenuhi ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya.
1. Dampak sosiologis
Pencatatan perkawinan bermakna sosiologis salah satunya yaitu dapat membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan sosial seperti halnya pembagian warisan, hak asuh anak, dan lain-lain.
2. Dampak religious
Pencatatan perkawinan memiliki makna religius dalam beragama makna religius ini merupakan makna yang paling penting  karena perkawinan dianggap sebagai suatu ikatan suci yang dibentuk oleh laki-laki dan perempuan yang saling mencintai dan berkomitmen untuk bersama di hadapan Tuhan dan juga masyarakat.
3. Dampak yuridis
Makna yuridis dalam pencatatan perkawinan adalah bahwa pencatatan perkawinan merupakan suatu proses dalam administrasi yang diatur oleh hukum dan negara yang bertujuan untuk mencatat resmi dan sahnya suatu pernikahan yang telah dilakukan. Pencatatan perkawinan ini diperlukan sebagai bukti sah adanya ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang dapat digunakan untuk kepentingan hukum, seperti hak waris, hak anak, hak nafkah istri dan lain sebagainya.

4. Pendapat ulama dan KHI tentang perkawinan wanita hamil
Jawaban :
Tentang perkawinan wanita hamil dalam KHI Pasal 53 ayat (1),
(2), dan (3).
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat di kawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir

Pendapat ulama tentang perkawinan wanita hamil
1. Pendapat Imam Abu Hanifah
Bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya hukumnya boleh. Kalaupun yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan
2. Pendapat Imam Asy-Syafi’i
Baik laki-laki yang menghamili ataupun yang tidak menghamili dibolehkan menikah
3. Pendapat imam malik dan imam ahmad bin hanbal
Laki -laki yang tidak menghamili tidak noleh mengawini wanita yang hamil kecuali setelah ia melahirkan dan telah habis iddahnya tapi jika tidak bertobat dari dosa zina maka menurut uman ahmad dia tetap boleh menikah dengan siapapun
5. Tentang buku yang saya review
Jawaban:
Judul: Kewarisan Perempuan Di Negara Muslim Moderen
Penulis : Sidik, M.Ag
ISBN: 978-602-18918-2-7
Ukuran: 21x15 cm
Halaman: vii, 132 halaman
Penerbit: All right reserved
Terbit: 2013
Cetakan: Pertama, 2013
Kesimpulan
Buku yang berjudul “ Kewarisan perempuan di negara muslim moderen” karya dari Sidik, merupakan buku yang menarik untuk dibaca dan dijadikan sebagai bahan ajar dalam memahami perbedaan kewarisan dalam negara muslim moderen. Hal ini dikarenakan buku ini mampu memberikan suatu pemahaman mengenai ketentaun kewarisan, orang berhak menerima, dan syarat sebab penghalang kewarisan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline