Lihat ke Halaman Asli

Wajah Didalam Kanvas

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kutatap awan yang bergerak di atas sana, bergulung saling berkejaran. Awan-awan itu sangat lamban. Saat itu tinggiku baru mencapai pinggang ibu, mungkin empat tahun, aku tidak begitu tahu pasti. Awan-awan itu terlihat begitu dekat. Seringkali aku melompat-lompat ingin meraihnya walaupun aku tahu bahwa usaha tersebut sia-sia saja. Keinginan hatiku yang lebih besar untuk dapat menyentuhnya selalu mengalahkan logika kecil ini. Di saat seperti itu Ayah dan Ibu tertawa-tawa melihat tingkahku yang lucu. Mereka menggerak-gerakkan mulut. Aku tahu mereka sedang mengatakan sesuatu, namun hanya gerakan yang aku lihat. Tidak pernah aku mengerti apa yang mereka katakan, hingga usiaku 14 tahun.

Sekian tahun berlalu tanpa arti mendalam di masa kecilku, pasti karena umurku masih terlalu muda untuk mengerti. Sehingga hari itu, hari dimana aku menyadari bahwa hanya akulah yang tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar. Hari yang masih tergambar jelas di dalam ingatanku. Kuingat Ibu membawaku ke dokter. Dimana seorang lelaki di balik seragam putih bersih, yang kemudian selalu kupanggil Om Dokter. Ia meraba telingaku, mengetuk-ngetuk dengan jarinya, dan melakukan beberapa pemeriksaan yang sangat tidak aku mengerti. Tubuhnya yang besar membuat aku ketakutan dan tangannya yang memegang-megang telinga dan wajah rasanya ingin kugigit lalu berlari keluar dari ruangan itu. Pemeriksaan itu rasanya tidak akan pernah berakhir. Kemudian Ibu dan dokter itu, rona muka keduanya sangat serius. Lalu kulihat Ibu mengucurkan air mata. Sebuah kepedihan yang sangat dalam tersirat dari wajah bulat itu.

Naluri kecilku mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah, tapi aku tidak tahu. Ibu menggunakan jari-jarinya yang kasar untuk menyeka air mata. Om Dokter masih terus berbicara, kelihatannya penting, Ibuku hanya manggut-manggut. Rasa takutku tiba-tiba hilang. Kuawasi keduanya dengan naluri yang tak pernah aku gunakan sebelumnya.

Mulut Om Dokter bergerak-gerak. Kepala Ibu menangguk-angguk banyak kali.

Ha! aku tahu!’ kataku dalam hati.

Ibu mengerti apa yang dikatakan Om Dokter.’

Kucoba membuat wajah serius dan sedih seperti yang dilakukan Ibu, tapi air mataku tidak dapat menetes dan kesedihan yang Ibu alami tidak dapat aku alami.

‘Mengapa aku tidak mengerti?’

Naluriku memperjelas masalah itu, ‘ Setiap orang menggerakkan mulutnya kepada orang lain dan orang lain disekitar memperhatikan mulut yang bergerak tersebut, lalu mereka mengerti. Namun mengapa aku tidak dapat mengerti satupun dari semua gerakan mulut orang-orang sekitarku? Hanya gerakan tangan yang dapat aku mengerti. Apa arti semua ini?’

Seharian aku bertanya-tanya di dalam hati. Kucoba untuk bertanya kepada Ibu tetapi dia tidak dapat menjelaskannya kepadaku. Yang dia bisa hanyalah menggerak-gerakkan mulut. Aku putus asa dan marah karena dia tidak dapat menjawab pertanyaanku.

Keesokan harinya, aku dan anak tetangga yang seumur denganku sedang bermain bersama. Ibunya datang menghampiri, temanku menengadah menggerakkan mulut sementara si Ibu tersenyum kemudian menggerakkan mulutnya. Ia memberikan sebuah boneka pada kawan kecilku. Saat itu senyumnya manis sekali, semanis putri kahyangan. Aku mendekati dia dan berkata,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline