DALAM DUNIA MASA KINI yang dikuasai "budaya pria", patriarkhi dan misogini, apalagi di masa pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung kurang lebih satu setengah tahun, para ilmuwan perempuan di negara-negara maju kini sedang menanggung banyak dampak negatif dari pandemi.
Mereka tidak produktif mempublikasi makalah riset. Mengepalai uji klinis lebih sedikit. Dan--ini sudah lama berlangsung-- pengakuan terhadap kecakapan dan prestasi akademik mereka makin berkurang.
Selain hal-hal itu, para ilmuwan perempuan juga harus mengalami banyak goncangan emosional dan stres yang datang dari pandemi.
Bersamaan dengan itu, mereka juga harus menunaikan panggilan gender mereka untuk melancarkan berbagai protes terhadap rasisme struktural dalam dunia akademik.
Sebagai para ibu, mereka juga dilanda kekhawatiran besar terhadap kemajuan pendidikan dan kesehatan mental anak-anak mereka.
Urusan rumahtangga yang tak habis-habisnya selama bekerja online dari rumah membuat mereka tidak punya waktu yang teduh dan cukup untuk berpikir cerdas dan berkarya inovatif.
Jumlah ilmuwan perempuan yang masih dapat berprestasi di masa pandemi, dus, jauh menurun dibandingkan ilmuwan lelaki.
Keadaan-keadaan itu lebih diperburuk oleh sikon kehidupan mereka di berbagai bidang yang makin tidak dapat ditanggung dan dipertahankan dibandingkan sebelumnya.
Untuk mendapat gambaran-gambaran real yang lebih luas tentang berbagai sikon yang tidak menguntungkan para ilmuwan perempuan di masa pandemi ini, silakan baca Women Scientists Systematically Excluded, Academic Productivity Differences, The Proportions of Female, Only Second-Class Tickets, Fewer Women, dan Gender Disparities.
Seorang biostatistikus perempuan kulit hitam dari Universitas Pennsylvania, Amerika, yang juga seorang ibu dari dua anak, dan selama masa pandemi bekerja dari rumah, Dr. Alisa Stephens, mengungkapkan sikon diri dan pekerjaannya selama masa pandemi Covid-19, demikian: