Lihat ke Halaman Asli

ioanes rakhmat

Science and culture observer

Antara Kapitalisme dan Sosialisme: Di mana Posisi Gubernur Ahok?

Diperbarui: 28 Mei 2016   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Seluruh bangunan kantor pemasaran Apartemen Fatmawati City Center milik Agung Sedayu Group seluas  500 meter persegi dibongkar habis oleh Pemprov DKI, 14 April 2016, karena tidak memiliki IMB. Tidak ada kompromi. Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/14/12004501/Seluruh.Bangunan.Kantor.Pemasaran.Fatmawati.City.Center.Dibongkar.

Tulisan ini saya kembangkan dari suatu tanya-jawab pendek yang berlangsung lewat Facebook saya, antara seorang sahabat dan saya. Jawaban saya yang paling 8akhir, telah saya perluas di sana-sini. Semoga tulisan saya ini bermanfaat bagi banyak orang.

Tanya: Warga miskin Jakarta itu sebenarnya siapa sih? Apakah kaum Betawi yang tersingkir oleh para pendatang? Ataukah kaum urban yang tak punya skill untuk bekerja di DKI?

Jawab: Semua WNI yang miskin dan hidup di kawasan-kawasan kumuh perlu kita beri empati dan intervensi dengan manusiawi untuk mengeluarkan mereka dari sikon yang buruk itu. Mereka itu ya penduduk DKI seluruhnya, warga NKRI, baik orang Betawi atau bukan, baik pendatang baru yang legal maupun penduduk lama. Dari semua etnis dan agama apapun. Semuanya harus terdidik dan memiliki kemampuan membangun masa depan mereka sendiri lewat wirausaha yang tertib dan kreatif atau dengan bekerja keras dan cerdas sebagai para karyawan.

Hanya dengan berbekal pendidikan yang cukup, kecerdasan, kemampuan wirausaha, kecakapan mengelola harta dan warisan sendiri dengan wawasan maju ke depan, dan dengan mental baja dan budi pekerti yang baik, penduduk lama DKI, dari suku dan agama apapun, akan juga bisa maju dan kaya dan hidup bermartabat. Tentu saja untuk mereka bisa maju, Pemprov DKI perlu membantu mereka lewat berbagai program bantuan usaha dan berbagai perangkat hukum yang menopang mereka untuk dapat maju. Marilah kita semua keluar dari penjara primordialisme SARA untuk menjadikan NKRI suatu negeri besar multikulturalis yang makmur, adil, maju, modern, beradab dan demokratis.

Tanya: Sudah saya lihat, pendekatan sosiokultural Almarhum Romo Mangun dulu di Kali Code Yogyakarta kini sepertinya sia-sia. Kawasan tersebut justru sekarang telah berubah jadi “kantong kemiskinan” yang baru di Yogyakarta, dengan tingkat kriminalitas yang juga tinggi.

Jawab: Ya, hal tentang komunitas-komunitas di kawasan Kali Code yang pernah dibangun atas dorongan Rm. Mangun itu, yang terbukti gagal, sudah saya dengar juga. Saya sebetulnya ingin melongok langsung ke sana; tapi belum pernah sempat.

Para romo Gereja Katolik di Indonesia umumnya terdorong untuk “pro-rakyat miskin” karena mereka mengambil alih pendekatan “memihak orang miskin” atau “taking side with the poor” dari teologi pembebasan Amerika Latin yang muncul di akhir 1960-an dan awal 1970-an. Pendekatan ini― yang pernah dikecam dan ditolak oleh Vatikan khususnya ketika Kardinal Ratzinger berkuasa (belakangan menjadi Paus Benediktus XVI) tetapi kini didukung oleh Paus Fransiskus― dinamakan “preferential option for the poor” yang memakai teori Marxis tentang “perjuangan kelas” sebagai suatu landasan sosio-ideologisnya.

Pendekatan ini dipakai untuk membebaskan negara-negara di sana yang, kata para pendukung Marxisme, dibuat bangkrut oleh kapitalisme Barat. Sebagai alternatif, negara-negara di sana memakai pendekatan ekonomi kiri yang kuat warna sosialis komunalnya. Tapi tokh akhirnya terbukti bahwa teologi pembebasan dan sosialisme juga gagal di sana dalam mengubah nasib rakyat miskin.

Kenapa? Karena sosialisme ekonomi yang diklaim akan mendatangkan keadilan distributif ekonomi ke seluruh rakyat malah menjadi suatu peluang intan berlian bagi munculnya “oligarkhi sosialis” sebagai sekelompok kecil penguasa yang mengatur dan mengendalikan segala sesuatu dalam suatu negara sosialis. Kelompok ini terbukti tamak. Mereka menghimpun kekayaan dan harta untuk diri dan kelompok mereka sendiri lewat berbagai aktivitas KKN yang dikemas begitu rupa seolah semua aktivitas mereka ini dijalankan demi rakyat yang miskin dan demi keadilan ekonomi dalam suatu masyarakat lamunan yang “tanpa kelas” dan “tanpa kepemilikan pribadi” sama sekali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline