Bill Eddy, seorang penulis terkemuka, terapis, advokat dan mediator yang mencetuskan profil-profil tinggi konflik atau high conflict personality (HCP) pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul dalam benak saya, bagaimana kita bisa menghindari pola berulang ini?
Buku berjudul "mengapa kita memilih narsisis dan sosiopat dan bagaimana cara kita berhenti melakukannya lagi" yang ditulisTerpantiknya pertanyaan ini dalam benak saya berkat sebuah judul buku bill eddy yang sederhana ini, membuat wawasan saya terbukam, mengingat indonesia akan memasuki tahun politik di 2024, sebuah pandangan mendalam tentang alasan di balik fenomena pemilihan pemimpin narsistik dan sosiopat, serta langkah-langkah konkret menuju perubahan yang lebih baik sangat perlu untuk disebar luaskan, mengingat pemilih muda atau pemula mengdominasi dalam pemilihan 2024 yakni sebanyak 106.358.447 jiwa.
Pemilihan pemimpin dalam suatu negara atau organisasi adalah tindakan yang sangat penting, karena pemimpin memiliki peran besar dalam membentuk arah dan kebijakan yang akan memengaruhi banyak orang. Namun, seringkali terjadi bahwa kita memilih pemimpin yang memiliki ciri-ciri narsistik dan sosiopat, yang dapat berdampak negatif pada stabilitas dan kemajuan suatu entitas. Dalam artikel ini, kita akan membahas mengapa kita seharusnya berhenti memilih pemimpin dengan sifat-sifat tersebut dan dampak buruk yang dapat timbul.
Kurangnya Empati: Pemimpin narsistik dan sosiopat cenderung kurang memiliki empati terhadap rakyat atau anggota organisasi. Mereka cenderung tidak peduli dengan kebutuhan, aspirasi, dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat atau anggota organisasi. Kekurangan empati ini dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat atau anggota yang membutuhkan.
Manipulatif: Pemimpin dengan sifat-sifat narsistik dan sosiopat seringkali memiliki kemampuan manipulatif yang kuat. Mereka dapat memanfaatkan informasi palsu atau situasi yang memihak kepada mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kebijakan yang merugikan banyak orang. Hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat atau anggota organisasi terhadap pemimpin dan pemerintahan.
Ketidakstabilan Emosi: Sifat narsistik dan sosiopat seringkali dikaitkan dengan ketidakstabilan emosi. Pemimpin yang mudah marah, tidak dapat mengendalikan emosi, atau bersikap impulsif dapat mengambil keputusan yang tidak terencana dengan matang, yang berpotensi berdampak buruk pada negara atau organisasi.
Kurangnya Kolaborasi: Pemimpin narsistik cenderung ingin selalu menjadi pusat perhatian dan mengesampingkan kontribusi dari orang lain. Mereka mungkin enggan untuk berkolaborasi dengan tim atau anggota kabinet, sehingga menghambat proses pengambilan keputusan yang lebih baik melalui diskusi dan analisis kolektif.
Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Pemimpin dengan sifat narsistik dan sosiopat seringkali memiliki ambisi yang kuat untuk memperoleh kekuasaan dan keuntungan pribadi. Hal ini dapat berujung pada tindakan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penggunaan sumber daya negara atau organisasi untuk kepentingan pribadi.
Ketidakstabilan Politik dan Sosial: Pemimpin narsistik dan sosiopat dapat menciptakan ketidakstabilan politik dan sosial karena tindakan-tindakan otoriter mereka yang merugikan hak-hak masyarakat atau anggota organisasi. Ini dapat berpotensi memicu konflik internal, protes massa, atau bahkan kerusuhan.
Sebagai penutup, memilih pemimpin adalah tanggung jawab bersama kita sebagai warga negara atau anggota organisasi. Untuk mencapai kemajuan dan stabilitas yang berkelanjutan, kita perlu berhenti memilih pemimpin yang memiliki ciri-ciri narsistik dan sosiopat. Pemimpin yang memiliki empati, kemampuan berkolaborasi, stabilitas emosi, dan integritas akan lebih mampu membawa perubahan positif dan memajukan negara atau organisasi menuju Indonesia emas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H