Sore itu, orang tua ringkih berbelanja, dan ngobrol dengan saya, dia berkisah dulu ketika tempat dimana kami tinggal masih berupa sawah, sepi dan tak ada nyala lampu, hanya sinar rembulan atau bintang gemintang di langit, saya ' mengatur air subak itu disini, sendiri.
Saya biasa melakukan itu, saya tanya, apakah tidak takut? Tidaklah, paling ketakutan saya adalah adanya ular maupun hewan melata lainnya, di tempat ini, jawabnya ringan, sambil mengisap rokok kesukaannya.
Namun, katanya menambahkan, bagi mereka yang memiliki kepekaan tinggi, akan dapat sinyal , sinyal-sinyal itu bisa dalam bentuk bisa bulu kuduk berdiri, atau mendengar suara , nyanyian, dan ketawa, atau ada tangisan. Di sekitar tempat ini, katanya tersenyum. Kata banyak orang tanah ini angker, pak ya? tanya saya, ya jawabnya singkat.
Dia bercerita panjang lebar. Tanah ini awalnya sawah, pemiliknya, adalah seorang ibu, yang telah lama menjanda, dia tua ringkih, anak-anak berminat membaginya, kesepakatan sawah satu hektar itu dikavling- kavling. bagian anak-anaknya kemudian dijual, serta banyak orang yang membelinya.
Kavlingan tempat duduk kita ini, sebuah pohon bekul, tumbuh subur menjulang tinggi, gagah dengan buah , serta duri yang tajam, sehingga tak banyak orang berminat untuk memetiknya.
Tempat pohon bekul itu tumbuh pun laku terjual, dibeli orang dari desa lain. Tempat di depan dan strategis. Bagi pemilik baru tanah itu mau dibangunin rumah, kos-kosan, karena dekat dengan kampus, pasti laku begitulah pikiran si empunya.
Karena untuk dibangun, pohon bekul itu pun mengalami nasib naas, harus ditebang, begitu keputusan. Entah apa yang terjadi
Tukang tebang pohon yang sudah siap membawa gergaji kayu (sensor) namun ketika berada di bawah pohon itu, ia tak berani menebangnya, tidak hanya sekali, sudah beberapa kali.
Tak salah memang, kalau banyak orang berpikir bahwa pohon bekul itu seolah-olah tidak mau pergi, dia tetap bertahan. Para tukang sensor itu kadang melihat ada ular, atau hal-hal aneh lainnya yang kerap membangunkan bulu kuduknya, merinding. Suara tangisan dan masakan enak berdesir menusuk hidung, padahal tak ada yang memasak di tempat itu.
Kisah horor pun berhamburan, menghiasi ruang publik. Menjadi santapan ibu-ibu dan bapak-bapak, obrolan warung kopi.