Lihat ke Halaman Asli

Sepetak Tanah dihuni Bersama dengan Wong samar

Diperbarui: 4 Juli 2024   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Celuluk ( Sumber gambar : Ketut Sukandia-Flickr) 

Sore itu, orang tua ringkih berbelanja, dan ngobrol dengan saya, dia berkisah dulu ketika tempat dimana kami tinggal masih berupa sawah, sepi dan tak ada nyala lampu, hanya sinar rembulan atau bintang gemintang di langit, saya ' mengatur air subak itu disini, sendiri. 

Saya biasa melakukan itu, saya tanya, apakah tidak takut?  Tidaklah,  paling ketakutan saya adalah adanya ular maupun hewan melata lainnya,  di tempat ini, jawabnya ringan, sambil mengisap rokok kesukaannya. 

Namun, katanya menambahkan, bagi mereka yang memiliki   kepekaan tinggi, akan dapat sinyal , sinyal-sinyal itu  bisa dalam bentuk bisa  bulu kuduk berdiri, atau mendengar suara , nyanyian, dan ketawa, atau ada tangisan. Di sekitar tempat ini, katanya tersenyum. Kata banyak orang tanah ini   angker, pak  ya?  tanya saya, ya jawabnya singkat.

Dia bercerita panjang lebar.  Tanah ini awalnya sawah, pemiliknya, adalah seorang ibu, yang telah lama menjanda, dia tua ringkih, anak-anak berminat membaginya, kesepakatan sawah satu hektar itu dikavling- kavling. bagian anak-anaknya kemudian dijual, serta  banyak orang yang membelinya.  

Kavlingan  tempat duduk kita ini,   sebuah pohon bekul,  tumbuh subur  menjulang  tinggi, gagah dengan  buah , serta duri yang tajam, sehingga tak banyak orang berminat  untuk memetiknya.

Tempat pohon bekul itu tumbuh pun laku terjual, dibeli orang  dari desa lain. Tempat  di depan dan  strategis.  Bagi pemilik baru  tanah itu mau dibangunin rumah, kos-kosan, karena dekat dengan kampus, pasti laku begitulah pikiran si empunya.

Karena untuk dibangun, pohon bekul itu pun mengalami nasib naas, harus ditebang, begitu keputusan. Entah apa yang terjadi

Tukang tebang pohon yang sudah siap membawa  gergaji kayu (sensor)  namun ketika  berada  di bawah pohon itu, ia tak berani menebangnya, tidak hanya sekali, sudah beberapa kali.  

Tak salah memang, kalau banyak orang berpikir bahwa pohon bekul itu seolah-olah tidak mau pergi, dia tetap bertahan. Para tukang sensor itu  kadang   melihat   ada ular, atau hal-hal aneh lainnya yang kerap membangunkan  bulu kuduknya, merinding. Suara tangisan dan masakan enak berdesir menusuk hidung, padahal tak ada yang memasak di tempat itu.

Kisah horor pun berhamburan,  menghiasi ruang publik. Menjadi santapan ibu-ibu dan bapak-bapak, obrolan warung kopi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline