Lihat ke Halaman Asli

Debat Capres: Etika, Politik Sengkuni dan Machiavellian?

Diperbarui: 10 Januari 2024   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kini, di bale bengong  selalu riuh, diskusi politik kini menarik, debat Capres  membuat suasana berubah, walaupun angin berdesir basah karena mendung, tetapi tetap terasa gerah.

Debat  calon  presiden memang dapat membuat suasana menjadi sedikit panas, panasnya bukan karena adu gagasan namun lebih banyak menyerang pribadi, celetuk salah satu yang hadir di bale itu. Artinya masyarakat disana , tidak terima kalau debat itu menyerang pribadi, adu gagasanlah yang dipentingkan. Ini politik, bedalah, ingat pesan Oscar Ameringer, seorang Jurnalis dan Anggota Partai Buruh :" Politik adalah seni halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan menjanjikan melindungi satu dari yang lain.

Tentu, gagasan muncul dari pikiran, lalu melahirkan kata-kata, apa yang diucapkan, dan selanjutnya memunculkan tindakan. Apa yang selama ini dikerjakan menjadi evaluasi tersendiri. Itulah sebabnya penilaian terhadap Prabowo yang selama ini sebagai Menteri pertahanan ditanya soal apa yang telah dilakoni selama, ini, karena materi debat fokus pada "pertahanan dan keamanan, dan geopolitik, tentu itu memang relevan.

Pertanyaan tentang data dan kerahasiaannya, adalah sebuah pancingan. Untung , kata teman saya Pak Prabowo tak terbuka. dan sangat bagus. Dalilnya adalah, Indonesia milik kita, jangan pernah sampai dimiliki oleh lainnya. Selamat kepada Pak prabowo sebagai teladan untuk semua perwira yang tidak pernah lelah memberikan yang terbaik bagi Indonesia tercinta. Tidak ada perang yang lebih sulit daripada perang melawan ego sendiri. Prabowo,  kata teman saya itu, telah membuktikan dirinya  itu dalam debat.

Perilaku yang sering menyerang dan nyinyir itu biasa dalam ruang debat itu adalah wajar, dan harus terjadi, sehingga menghidupkan suasana. Untuk ini kadang publik belum siap menerima pujaannya dikritik dan ditelanjangi di depan umum. Publik juga mengkritik bahwa penilaian yang meluncur dari mulut kandidat, yang bukan menggunakan indikator kinerja kementerian dipakai menyerang, walaupun keduanya seorang intelektual, namun politik memang membutuhkan strategi untuk 'mengaduk emosi publik.

Dan ternyata, benar terjadi. Banyak sumpah serapah, dan tangisan sedih melankolis diumbar di publik setelah debat, dan Paslon 02 mendapat simpatik, akibat penilaian diberi angka 11 dalam skala 100, banyak yang heboh, karena tidak sesuai dengan teori evaluasi dalam pendidikan, tentu dosen tahu perihal itu. Itu yang disesalkan diucapkan oleh Anies.

Ketika Anies menyerang dengan cara itu, orang banyak tak terima, malah mengkritiknya , dengan mengatakan tidak etis, karena dia pernah jadi dosen.

Bung, ini bukan ruang kelas, kata teman saya, ini ruang debat, ini juga ruang politik, politik membutuhkan strategi, dicap Politik sengkuni ataupun Machiavelli, dalam politik itu perlu. Untuk menyadarkan masyarakat.

Disinilah Anies hadir cemerlang, penulis duga, dia ingin membangun literasi politik, dengan dalil 'Post Truth".

Sebuah frasa bermakna pasca kebenaran yang baru berkembang dalam ilmu sosial politik. Post-truth merupakan keadaan dimana masyarakat tidak terlalu peduli lagi dengan kebenaran. Lebih detailnya lagi, menurut Oxford Dictionary post-truth adalah kata sifat yang menggambarkan keadaan dimana fakta objektif tidak dianggap terlalu penting dalam membentuk sebuah opini.

Itu sebabnya, ketika debat Anis maupun Ganjar beropini , tidak sesuai data sesungguhnya, adalah sebuah strategi yang amat jitu, apakah masyarakat  kita peka?, ternyata benar, masyarakat terbangun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline