Seorang Wanita berumur setangah abad lebih, berjalan pelan, dengan nafas berat menapaki lorong jalan yang kian mendaki, udara berdesir sejuk, karena memang itu adalah kaki gunung Agung yang digunakan sebagai tempat suci, pura.
Pemedek, orang-orang yang ingin sembahyang, membludak berbaur dengan para pelancong/ tourist, diantara pelancong itu mereka juga masuk untuk bersembahyang. Kalau pelancong tak sembahyang, jangan harap bisa masuk ke areal Utama mandala, tempat dilakukan pemujaan. Jro mangku akan segera mempersilahkan keluar dari areal pura
Sampai ditempat pemujaan itu Wanita itu merasa bebas, kayakinan berbahur dengan kenyataan, bahwa dia bisa sampai di puncak merupakan sebuah impian, bagi orang yang menderita sesak nafas, berjalan dari pura paling bawah, Dalem Puri sampai di Puncak Pura gelap, adalah sebuah prestasi, sebab perang antara ketinggian dan alunan nafas menjadi ' perang tanding yang sulit dimenangkan oleh seorang yang nafasnya berat dan tersengal-sengal. Seperti perempuan setangah abad itu.
Perjalanan mendaki itu berbaur dengan suara belalang, yang bersembunyi dibalik perdu indah yang ada lingkungan itu.
Keindahan lain terasa ketika jiwa merasakan desau angin yang kian terasa segar, bersih terhirup oleh paru-paru . Inilah fase tradisi masyarakat Hindu di bali terasa unik, bersembahyang, sekaligus berolah raga dan olah rasa, untuk merasakan keagungan Yang Maha Memberi hidup.
Suara burung yang menggericau, hadir pada pohon-pohon besar yang memberikan kesan yang sangat memukau pelancong, Udara dan kabut tipis mulai beranjak karena kena sinar matahari. pemandangan itu membawa asa menjadi penuh kebahagian, Rasa hati seakan menyatu dengan pemandangan berkabut sutra awan antara gunung dengan langit.
Wanita setengah abad itu, menuju Pura suci itu, yang disebut dengan nama Pura Gelap, yang menstanakan dewa Iswara yang berposisi di arah timur dan merupakan salah satu bagian dari 20 kompleks Pura Besakih itu. Di areal Pura Gelap itu, seakan makna yadnya (korban suci) mendapatkan tempatnya yang utama, dalam bentuk cakra yadnya. Cakra yajna inilah hendaknya diputar secara harmonis dalam suatu kesatuan.
Apabila salah satunya saja putus dunia ini tidak dapat bekerja. Bagaikan rantai makanan antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan Cakra yajna ini harus bergerak dan gerakannya berputar agar roda penyangga kehidupan berjalan tanpa adanya gangguan dan benturan, maka dari itulah umat Hindu amat didorong menyadari keberadaannya secara histolistik. Yang menjaga hubungan karena saling membutuhkan di dalam usahanya melakoni nilai kemanusiannya di dunia ini (Gita III.14).
Perlu diketahui bahwa Ada empat pura di kenal oleh masyarakat Hindu di Bali sebagai Pura Catur Dala atau Catur Loka Pala , yakni y Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batu Madeg. Lalu yang menjadi pusat ditengah-tengah adalah Pura Penataran Agung Besakih.Pura penataran ini terdiri atas tujuh Mandala, atau banyak menyabeutkan dengan tujuh lapisan alam atas (Sapta Loka).