Ade Armando, babak belur, mukanya bonyok, adalah sebuah tanda, bahwa demokrasi kita masih sarat dengan kekerasan. Pertanyaan sederhana muncul, masih diperlukan transformasi berapa lagi agar bisa demokrasi berjalan damai? Sebab, Kemenangan yang di capai dengan kekerasan adalah kekalahan dan itu hanya sesaat.
Kita bisa belajar dari kata-kata Mahatma Gandhi, Saya tidak menyukai kekerasan, karena ketika kekerasan digunakan untuk melakukan kebaikan, kebaikan itu hanyalah sementara; kejahatan yang dilakukannya permanen.
Menyaksikan berita, Ade Armando, Dia ibaratnya seekor domba berada di wilayah srigala lapar. Ada orang tak suka padanya, karena dia kerap kritis, dan memang lebih banyak logika-logika gayut dengan Jokowi, nyanyian serempak seakan dia adalah bagian Jokowi atau pemerintahan saat ini. Di sebagian orang banyak yang tak sejalan, Ade Armando layak untuk di habisi. Namun kejadian pengroyokan itu, sangat popular, menghilangkan essensi penting dari tujuan demo seseungguhnya.
Ade Armando sebuah martil, bak Abimanyu dalam perang Mahabarata di Kurukestera. Abamanyu tewas mengenaskan dikeroyok Kurawa, namun Ade Armando, selamat dengan dengan setengah telanjng, idenyanya dibantai, logikanya diuji, daN TERNYATA, pendemo memang tak paham logikanya. Artinya, public masih perlu puluhan , atau bahkan jutaan episode konten logika nya agar beredemo bisa damai.
Maka ta khayal konten-koten logika Ade Armando harus mampu masuk kea rah hati public, dan menghilangkan kekotoran hati pikiran publik. "Mereka yang bebas dari pikiran kebencian pasti menemukan kedamaian." Persoalan apapun pasti bisa dibicarakan. Perbedaan adalah hal yang wajar, selama tidak saling menyakiti, perdamaian masih bisa diwujudkan. Percayalah bahwa, Satu menit kesabaran dapat menghasilkan sepuluh tahun perdamaian.
Padahal Ade Armando justru ingin menyuarakan demokrasi, seide dengan BEM SI, toh bencana pengroyokan itu terjadi, demo yang mengatasnamakan mahasiswa. Kejadian ini sesungguhnya menyiratkan dua persoalan.
Pertama, benarkah mahasiswa yang demo, kalau mahasiswa koq seperti itu perilakunya, kalau ini benar, maka ada yang salah di dunia kampus? Kedua, kekerasan yang dilakukan pendemo, yang sejatinya demonstrasi diperbolehkan dalam iklim demokrasi, ternyata membuat demokrasi itu seakan cacat , bopeng, karena demonstrasi rusuh, dan Ade Armando menjadi korban.
Disana sedang dikabarakan bahwa demonstrasi di negeri ini, masih bersifat amuk, dan kekerasan adalah ciri khasnya. Maka benar tesis bahwa demokrasi yang cacat (flawed democracy) masih menyelimuti Indonesia. Kejadian ini menguatkan data-data tentang demokrasi di Indonesia
Sebagai gambaran, bahwa Demokrasi Indonesia menurun pada tahun 2021. Setelah meninjau tiga laporan dari Indeks Demokrasi 2020 oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia di 2019 oleh Badan Pusat Statistik dan Demokrasi Indonesia Laporan Tahun 2021 oleh V-Dem Institute, Itu tampaknya tiga laporan telah menunjukkan penurunan yang signifikan, tidak hanya pada kebebasan sipil dan politik budaya tetapi juga pluralisme dan fungsi pemerintahan.
Kedua laporan tersebut menggarisbawahi kebebasan sipil sebagai titik sentral dari kemunduran demokrasi. Laporan sebelumnya menempatkan Indonesia di urutan ke-64 dari 167 negara, sedangkan yang terakhir , yang memberi bobot lebih pada kebebasan berbicara, mendapat skor 64,29 poin tahun 2019, turun 1,88 poin dibandingkan tahun 2018 sebesar 66,17 poin.1 Terakhir, Institut V-Dem menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 179 negara dalam hal indeks demokrasi liberal.2 Singkatnya, ketiganya laporan telah mengisyaratkan penurunan tingkat demokrasi Indonesia, dari "demokrasi elektoral" menjadi "demokrasi yang cacat".
Artinya, pemilu yang kita lakukan tidak berhubungan dengan apa sejauh mana pemimpin terpilih dapat memenuhi janji kepada pemilih mereka. Janji itu sendiri secara khusus merujuk pada bagaimana pemimpin mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat (No. 27 / 09 June 2021 www.habibiecenter.or.id)