Lihat ke Halaman Asli

Presiden Jokowi Perlu Membangun Multiliterasi

Diperbarui: 23 Oktober 2021   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret resmi Presiden RI Joko Widodo tahun 2019, yang diunggah oleh Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia 

Udara siang itu  mendesir sejuk, Bale  Bengong itu, menjadi saksi bisu pergantian suasana dari PPKM level 4 ke 3  dan seterusnya. Dia bisa hadir sebagai penanda zaman. Bisa juga  menjadi rumah kedua bagi yang suka berdialektika, meminjam tesis Hegel, filsuf Jerman yang kesohor itu., menyebut "Kontradiksi adalah munculnya alasan atas keterbatasan pikiran" yang biasanya rame didiskusikan di tempat itu  

 Kerterbatasan pikiran itu muncul kini dimana-mana, atas nama demokrasi itu  dianggap sah, karena demokrasi  sejatinya  seru Bertrand Russell,  proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan. Sama seperti Jokowi, kita pilih untuk banyak orang menyalahkan nya. Karena kepentingan tak semua bisa diakomodir, karena satu keinginan  terpenuhi bisa memunculkan  puluhan keinginan lain untuk dipuaskan.

Itu sebabnya , mahasiswa demo dengan mengabaikan prestasi kepemimpinan Jokowi selama 7 tahun  memimpin negeri ini adalah, proses dialektika karena banyak keterbatasan mencerna, berbagai sudut pandang, di sana berpendar bahwa Negara adalah realitas gagasan moral. Maka dari itu, dialektika menjadi penciri manusia berpikir, untuk membuat banyak orang  sadar ikut  untuk menganalisis di setiap  sudut -sudut yang belum terjamah oleh nalar.

Tak ada yang perlu dipersalahkan dalam hal ini karena, Hegel benar ketika dia berkata bahwa kita belajar dari sejarah bahwa manusia tidak pernah bisa belajar apapun dari sejarah , itulah pernyataan jernih dari George Bernard Shaw, seorang pengkritik dan juga penulis , yang meraih  Nobel sastra (1925) dari Irlandia dan Inggris.

 Kini pernyataan itu  mendekati  realitas.   Karena nalar  manusia menjadikannya  eksistensinya dihargai, di ruang itu seakan, suara-suara sumbang menjadi katalis untuk berbuat lebih banyak, agar para kritikus tetap ada bahan untuk dicerna, Karena Pemerintahan manusia harus menjadi monarki nalar: itu terlalu sering demokrasi nafsu atau anarki humor yang menggeliatkan syahwat politik., karena disitu juga membangun dialektika literasi pemikiran publik

Literasi harus terus menjadi tujuan, agar nalar publik semakin meningkat, dan memunculkan sebuah diskursus baru bahwa  literasi dapat dipandang sebagai cara untuk menemukan dan membuat makna dari berbagai bentuk representasi yang ada di sekitar kita, salah satu diantaranya  membaca perilaku dan progresifitas Presiden Jokowi dalam menakhodai kapal besar yang berjuluk NKRI ini. Untuk bisa memaknai nya, maka   mono sudut pandang akan melahirkan kesalahan paralaks.

Pada aspek itu maka dibutuhkan multiliteracy  yang merupakan  sebuah wujud kemampuan memandang pengetahuan secara integratif, tematik, multimodal dan interdisciplinary. Pada sisi itu, proses dialektika tak bisa diabaikan.

Dialektika adalah sebuah metode yang didapuk  untuk memikirkan dan mengartikan dunia baik yang mewujud dalam alam maupun dalam masyarakat. Menggeneralisasi bahwa Jokowi itu gagal adalah cara berpikir yang  menyelaraskan  dan membenarkan proses membangun ide tertentu dengan ribuan metode berpikir yang khas, Jokowi, dan dia  pernah berucap jernih bahwa "demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya.

 Pada sisi itu, seakan mengiyakan bahwa  ide tentang generalisasi, atau keumuman menjadi tiang penyangga pemikiran kriti. Maka dari itu, tak salah memang  generalisasi, bisa dimaknai sebagai  a properti pemikiran. Untuk menggeneralisasi berarti berpikir. Dalam terminal ini lah  argumen analisentrik seakan tak berkembang, berhenti di jalan yang buntu. Sebab  analycentric argumently, suatu argumen kebijakan yang menggunakan  satu atau lebih pembenaran atau dukungan yang mengacu pada aturan  atau prinsip-prinsip  metodologi untuk memberikan alasan bahwa suatu pernyataan yang diadakan pada pemberian alasan bahwa suatu pernyataan yang didasarkan pada metode itu secara nalar  benar.

Di terminal itu,  negara seakan seperti Bale bengong. Tempat untuk merenung sendiri, berdiskusi dari kepenatan hidup karena  beberapa gagasan tak bisa diolah. Maka bale Bengong identik dengan  kekhasan nya ruang tanpa sekat pikiran seakan hadir dalam bentuk negara demokrasi, sehingga bebas berujar,  sehingga bulir-bulir bernas kerap muncul dari pengadukan pikiran inti di ruang yang bebas dengan predikat  sebagai pengampu sejarah bangsa, maka  tak salah bahwa sejarah dunia tidak lain adalah kemajuan kesadaran akan kebebasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline