Udara sejuk selalu menghiasi Hambalang, dengan bangunan Sport Centernya yang mangkrak itu, kini banyak pihak membangun cerita karenanya. Bertema korupsi , elektabilitas partai, manuver politik dan banyak lagi yang lain.
Paling tidak, di sana seakan terpatri ingatan bahwa kasus korupsi melilitinya sehingga bangunan tak jalan sesuai aturan. Padahal saat itu, sosok dari Puri Cikeas, SBY, menjadi penguasa negeri ini dengan Partai Demokratnya. Laporan ABS (asal bapak senang) sulit ditampik dan itu membuatnya kecolongan. Artinya ternyata banyak penjilat berhati busuk di dekatnya. SBY baru sadar kini, namun nasi telah jadi bubur. Hanya puisi yang bisa hadir. Namun kini yang tinggal adalah Hambalang dengan eleginya, yang sontak membuat SBY, mau-tidak mau harus siap selalu dikaitkannya. Puri Cikeas selalu murung, sepi , galau walaupun suasana disana dapat memandang perbukitan yang sejuk.
Tak pelak, bangunan yang digadang-gadang menjadi Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) yang mangkrak itu, menjadi bahan nyiyir, bahan bully , sehingga banyak orang ingin mengabadikan sebagai monumen semacam candi hiasan negeri. Itu membuat hati semakin pilu, sakitnya tuh disini, sakit seperti tercabik -cabik sembilu. Harapannya semoga Presiden Jokowi segera menuntaskannya, sehingga menjadi bangunan megah. Sekali lagi semoga. Asal, menurut penulis, SBY tidak nyiyir dan tampil sebagai bapak bangsa, meniru gaya Pak BJ Habibie.
Tak salah juga, Hambalang dihadirkan atas banyak kepongahan. Banyak rakyat bersedih atas kemangkrakannya namun juga ada yang suka ria karenanya, karena ada bahan yang bisa dinyanyikan menjadi semacam elegi, untuk bercerita tentang suatu masa, dimana slogan "Katakan tidak pada Korupsi" yang bintang iklannya "masuk penjara karena korupsi, kecuali IBAS, akhirnya menjadi slogan populer "Katakan tidak pada (hal) korupsi" menjadi diksi yang melegenda buat Partai Demokrat.
Elegi Hambalang sesungguhnya membuka mata rakyat, mengapa demikian? ketika politikus berbicara A, bisa jadi B, sebuah negasi kerap terjadi, orang berkata tidak korupsi, sesungguhnya korupsi. Benar adanya bahwa ayam yang bertelur yang berkokok.
Mangkraknya Hambalang, menggambarkan pada khalayak bahwa telah terjadi kesesatan profesional kinerja pemerintah saat itu, yang berdiri atas nama "pembangunan'. Kesesatan akibat terjadinya korupsi, entah karena maraknya tagihan setoran, entah oleh siapa dan untuk siapa semuanya tak samar, senyap. Yang jelas sudah ada terdakwa. Setelah keluar penjara menjabat di partai lagi, lelucon yang tak lucu memang.
Kesenyapan masih menyimpan duka, dan kerap dinyanyikan, oleh banyak pihak, Mulai dari presiden Jokowi, atau elite politik lain, untuk membungkam ekskalasi politik dinasti Puri Cikeas' yang sering memancing ketika air keruh. Maka. mudah ditebak bahwa Hambalang dibangkitkan sebagai senjata politik untuk menghujamkan , agar rakyat melek, bisa memilih yang mana benar dan yang mana keliru.
Pesannya bahwa kekuasaan itu menjadi menarik dan politik menjadi hiburan masyarakat. Ketika puisi SBY hadir belakangan ini, dia menjadi hiburan sesungguhnya. Saya teringat pernyataan John F Kennedy, " Ketika kekuasaan mengantar manusia pada kesombongan, puisi mengingatkannya akan keterbatasannya. Ketika kekuasaan mempersempit area pemikiran manusia, puisi mengingatkannya akan kekayaan dan keragaman eksistensi. Ketika kekuasaan itu korup, puisi membersihkannya. Itu mungkin yang dipesankan oleh SBY atas Puisinya dari Puri Cikeas. Yang BERTAJUK Kebenaran dan Keadilan Datangnya Sering Lambat, Tapi Pasti.
Elegi Hambalang menjadi kian kejam, politik semakin menjadi alat saling mengungkit, dan menyakiti, pertanyaannya sampai kapan Hambalang akan menjadi alat tikam? Kata Kakak saya yang melihat tayangan " konferensi pers di Hambalang Sport Center, Bogor, Kamis (25/3/2021), pada laman youtube.com/kompas tv, oleh kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, oleh Bung Max Sopacua ini tampil agak menarik, ditempat ' yang lagi bikin emosi bergejolak, bulu kuduk merinding karena bangunan mangkrak
Saya tersenyum, menghadap ke langit bale dangin, mendengar celotehan kakak saya. " Gedung Olah raga itu, yang dibangun dengan uang rakyat . uang hasil pajak, uang hasil eksploitasi kekayaan bumi, atau mungkin uang karena pinjaman hutang luar negeri yang harus dibayar oleh rakyat, Kini kondisinya kian menyedihkan karena kerja yang tak selesai, bak pepatah' Ke langit tak sampai, ke bumi tak nyata, Tanggung dalam menyelesaikan pekerjaan belum paripurna.
Narasi Hambalang adalah gambaran elegi akan kehidupan negeri ini, yang didiamkan, yang digunakan sebagai alat politik , tak terselesaikan , sampai kapan terbengkalai ? Sulit mencari jawabannya. Orang boleh menduga bahwa sengaja didiamkan untuk menjadi alat yang kejam untuk saling, menyalak. Kita hidup di zaman dimana rasa malu tidak lagi ada?