Lihat ke Halaman Asli

Benci Produk Asing, Harus Diikuti Perubahan Budaya Konsumsi?

Diperbarui: 9 Maret 2021   06:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

President Joko Widodo officially opes the Sindang Heula reservoir in Serang regency, Banten, Thursday (4/3/2021)(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)

 Melihat dari  dekat, pasar tradisional yang ada di kota  Singaraja Bali, tentu tidak sulit mencari  produk-produk asing. Barang itu masih banyak dipajang dan sangat dibutuhkan, kadang kerap tak tergantikan dari yang lain, dan itu harus didatangkan (import ) dari luar negeri.

Lalu,  pertanyaan muncul,   Bisakah kita hidup tanpa menggunakan barang asing? Istri saya tersenyum, lalu tertawa, kita  belum bisa , kecuali hidup dengan transformasi budaya baru dan itu perlu waktu.

Dalam keluarga  masih susah apalagi urusan   negara yang  dengan penduduk 270 jutaan, tanpa  menggunakan produk asing?  jawabannya tidak mudah. Beberapa kebutuhan pokok tak bisa kita penuhi sendiri, semisal kedelai  untuk tahu dan tempe , makanan yang murah dan bergizi itu,  bahan bakunya masih kita import, atau bawang putih  dan kacang tanah menyusul  daftar  produk pertanian yang masih di import dari Amerika serikat.

Saya pikir, kacang tanah di Bali banyak bisa ditanam dan mudah tumbuh, namun ternyata kita masih kekurangan. Fakta menunjukkan bahwa   produksi camilan dengan bahan baku kacang itu  sangat banyak di Bali, misalnya,  Home industry, camilan kacang kapri dengan aneka variannya di desa Nyanglan, salah satu desa yang  dekat desa Saya,  berlokasi di kabupaten  Klungkung Bali, ketika pandemi COVID-19,  home industry itu rontok karena kekurangan bahan baku kacang tanah. Karena pasokan  bahan baku dari China tidak berjalan lancar. Artinya, kita belum swasembada dalam  kacang tanah itu.

Lalu apa makna anjuran Presiden Jokowi untuk  benci produk asing" yang lagi trending itu, yang Belaiu ucapkan ketika memberikan sambutan dalam Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Republik Indonesia di Istana Negara, Gambir, Jakarta Pusat pada Kamis (4/3/2021) lalu.

Meminjam teori psikologi, maka presiden sedang memberikan treatment, dengan konsepsi , "epiphenomenalism. Apa itu? Epiphenomenalism sebuah doktrin yang meyakini kesadaran sampingan dari aktivitas neural, bisa  terbangun bila adanya kejut sinyal yang berbeda dari biasanya. bagi individu bila diberikan  sebuah komunikasi, yang bersifat Wow... itu, ada kata benci segala, maka kita dihadapkan pada aktivitas yang secara psikologi masuk kedalam relung kesadaran, maka emosi menjadi bagian yang ikut berperan sehingga, individu itu  mulai terbangun' lalu akan memulai sebuah perubahan perilaku, dengan membangun kesadaran positif untuk maju.

Di bingkai itu,  pernyataan presiden Jokowi,  sejatinya mengandung harapan, pendekatan   rekayasa kultural sedang dimainkan, yakni  di tataran mental, sehingga di dalam ruang kesadaran kita, melahirkan  'rekontruksi mental'. Lalu rekontruksi itu  dalam bidang apa?  

Ya, sederhananya dalam "reformasi budaya konsumsi"  yang paralel  dengan pola-pola baru dengan  proyek reformasi etika individu. Luarannya bertujuan untuk memunculkan tipe subjektivitas yang sejalan dengan norma-norma modern, seperti: kompetisi, transparansi, dan privatisasi, yang semakin terus didengungkan, agarkita tidak lemah,kurang semangat, dan sadar bahwa di luar sana orang sudah berpacu  ingin menguasai kita secara ekonomi dan harus bermetamorfosis dari konsumtif menjadi produktif. 

Ajakan presiden dengan kata benci produk asing, secara   tersirat dapat saya tafsirkan, yang ada dalam negeri dan bisa diproduksi di dalam negeri, silahkan pakai, kita membantu sesama warga bangsa, dan jangan egois, di sinilah, saya maknai arahan presiden itu.

Seorang presiden memang harus menjadi motivator bangsanya dan Jokowi telah melakukan itu, sebab kata bijak memesankan bahwa, " Hidup yang berkualitas adalah belajar untuk ikhlas dan tawakal. Berbisnis yang sukses adalah yang selalu berusaha disertai dengan doa dan niat baik untuk memperbaiki perekonomian".

Sebab kalau kita tidak menggunakan oduk bangsa sendiri, siapa lagi,  ayo?  Analog dengan swadesi nya 'Mahatma Gandhi,  yang kita kenal sebagai "panggilan bagi konsumen untuk waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan dari mendukung industri mereka (asing atau penjajah) yang menghasilkan kemiskinan dan berbahaya bagi para pekerja dan manusia serta makhluk-makhluk lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline