Manatap sejarah perjalanan masa lalu, adalah cemeti dalam menghayati pergerakan peradaban. Kerap di sana ditemukan mutiara yang berpendar dengan sebuah pesan, yang identik dengan makna sejarah, yaitu sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan. Maka sejarah kerap berisi sisi suka dan duka, kita dipersilahkan memilihnya untuk dijalani.
Duka adalah karena rasa sakit yang menganga, harus disadari, bahwa rasa sakit sejarah sedang menghaluskan kekotoran jiwa di dalam hati, rasakan pelan namun pasti, bahwa di lingkungan alam ini beragam kisah hal yang suci dan bening.
Luka dan susah karena penyakit pun membawa pesan suci sejarah yang berulang, sebab Kesucian di luar kemudian membimbing o banyak orang menemukan kesucian di dalam hatinya. Dan di antara semua wajah kesucian di dalam, yang tersuci adalah hati yang selalu bersyukur. Bersyukur adalah simbol hati yang damai.
Di bingkai itu, manusia memang bisa membuat simbol, simbol membuatnya bisa dikenal, sehingga manusia identik dengan predikat animal symbolicum' seperti kata Ernst Cassirer, seorang filsuf Yahudi yakni makhluk yang mengerti serta membentuk simbol. Simbol dan makna diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, melalui nilai-nilai kearifan lokal. Manusia selalu menggunakan simbol dalam menyampaikan pesan, pesan masuk sebagai data untuk menguak relung sejarah peradaban.
Saput poleng adalah identitas, yakni hitam putih, merupakan dua sifat yang berdiri diametral, baik dan buruk selalu berdampingan, baik itu ada karena ada pembandingnya buruk. Rwa bineda, dan selalu menjadi ciri sifat benda di bumi. Sama seperti entitas dwi wara, "menge dan pepet", kosong dan berisi. Dan di antara kosong dan berisi berasimilasi dalam satu konsep baru luwang (ekawara). Kesempatan, kosong berisi. Tak ada definisi dalam bahasa manusia.
Namun makna saput poleng tanpa tepi, artinya sebuah saput tanpa ujung, atau tanpa garis tepi. Sebab ketika ada tepi maka sesungguhnya 'terbatas" hitam dan putih itu, sejatinya tak ada ujungnya, kalau seseorang bergerak mencari pembanding, atau perbedaan, maka dia akan terus menerus (kontinu) sebagai sosok samsara, dan tak pernah mencapai moksha.
Ketika seseorang menganggap tanpa tepi, maka sesungguhnya antara baik dan buruk itu sama. Kepribadian itu sebagai simbol bagi pemakainya. Ketika dia bertepi, maka sejatinya dia telah diskontinu, tidak bersinambung, dengan sang maha jiwa, dan kekosongan yang berisi tak pernah mengejawantah dalam dirinya.
Saput poleng tanpa tepi , tersurat dalam babad 'Dalem Tarukan' (Putra kedua Raja Sri Kresna Kepakisan yang diangkat oleh Raja Majapahit di Bali) pencirian pakaian atau busana ida dalem ketika 'menampilkan diri' dalam keseharian, dalam meniti kehidupan sebagai sosok yang menabur benih kebajikan (memula sari=pulasari, Dalem Tarukan menurunkan Klan Pulasari di Bali ), sebab ketika menabur benih kebajikan maka akan tumbuh bunga yang indah.
Bunga-bunga indah yang berwarna warni, tidak pernah berdoa agar dicium lebah dan kupu-kupu indah. Bunga cukup mekar indah, kemudian lebah dan kupu-kupu indah akan datang berkunjung ditemani ciuman indah merasakan madu dari kebajikan itu sendiri.
******
Siang itu udara sejuk melintasi kawasan Puri Samparangan, yang indah , yang dikelilingi sawah berundak yang ditumbuhi padi bali yang subur. Tepat di Bale tengah, tak terduga, mimik bibi pengasuh yang telah setia ngayah itu kaget karena I Dewa Gde Muter datang menghampirinya dengan wajah sedih. Dia mengutarakan rasa rindunya, ingin mencari sang ayah ke arah utara, sebab sudah hampir 16 tahun berlalu, Sang ayah telah pergi menuju ke arah gunung.