Lihat ke Halaman Asli

Lembu Cemeng di Acara Ngaben itu

Diperbarui: 31 Januari 2021   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Ibu itu, memakai pakaian putih-putih, duduk dengan menitikkan air mata, tampak rasa duka, masih sangat dalam menyelimuti wajahnya, kehilangan sang suami yang dicintainya. Hari itu jazad suami akan di aben, untuk menuju alam sunya.

Air matanya, adalah tanda bahwa kesedihan bagian dari kehidupan, Narasi berkembang, Walaupun raga telah terpisahkan oleh kematian, namun cinta sejati tetap akan tersimpan secara abadi di relung hati. Kematian, adalah peristiwa tercepat, yang menjadikan segalanya tinggal sejarah.

Dalam dimensi kesedihan, ibu itu tetap yakin bahwa ngaben itu, menjadi sebuah titik kulminasi perjalanan kehidupan suaminya. Identik seperti yang diyakini umat Hindu di Bali lainnya. Sebab ngaben adalah aktivitas ritual pembakaran jasad untuk menyucikan roh menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Maka terkadang kita tak tahu betapa berartinya sesuatu sampai ia menghilang."

Walaupun sedih, namun Ibu itu masih terhibur jua bahwa, dengan ngaben sang suami akan terbebaskan dari keterbatasan badan yang tersusun oleh sang panca maha buta: kelima unsur penyusun tubuh, stula sarira itu, yakni : api, pertiwi, bayu, air , akasha.

Panca maha buta itu, sang penyusun tubuh memang sangat kontradiksi, unsur-unsur itulah yang menyusun manusia, dengan kadar yang bervariasi dalam tubuh manusia.

Akibatnya tak mudah, tentu untuk menemukan manusia yang bijak dan sempurna.

Dibingkai itu, Kalau api yang dominan, maka pemarah lah dia, namun kalau air yang lembut, dan cenderung dianggap lemah, maka yang sangat diharapkan adalah keseimbangan kelima unsur itu. Perpaduannya seharusnya menghasilkan persenyawaan baru sang jiwa dengan badan yang harmoni.

Dan, dari sana, pilihan proses peleburan badan menunjukkan jenis sarana ngaben itu. Ngaben (kremasi ) dengan api (agni) , atau mengubur menyatu ke pertiwi, atau hanya didudukkan di bawah pohon atau digantung (tanpa di kubur) menyatu dengan angin. Tradisi itu terus berkembang hingga kini, dan tak ada yang satu tinggi yang lain rendah, semuanya sama.

Ibu itu yakin perjalanan suaminya, kini menjadi jalan mulus reformasi ngaben di warga itu, sebab kini adalah prosesi yang semakin disadari makna dan hakikatnya. Ngaben dahulu sebanding dengan aktivitas, " ngabehin", artinya berlebih, kalau tidak punya banyak membutuhkan uang, bukan ngaben namanya, atau ngabein (membawakan), atau membekali, sang yang mati, haruslah dibekali dengan serba wah, Dan, yang lebih sering ngabeten (ngayud keteben yang lebih banyak ) lebih banyak ke arah bawah artinya di wilayah perut (maksudnya makan dan minum ) layaknya pesta, sehingga habis banyak materi, sehingga dapat melahirkan "kemiskinan".

Namun sekali lagi itu dahulu, kini ngaben sudah bermetamorfosis bahwa perjalanan roh memang sangat berkaitan dengan "karma" yang dilakukannya di mayapada, yang akan mendampinginya selama perjalanan yang panjang menyatu dengan Yang menciptakannya"

Akibatnya, ngaben harus tidak memberatkan, karena semua pasti mengalaminya, maka ngaben itu seringan dan membuat jiwa bersatu dengan Hyang Maha kasih, dengan perasaan bahagia, bisa melakukannya dengan tanpa menjadi beban kehidupan generasi penerusnya. Ngaben menjadi ritual yang penuh keikhlasan, tanpa mengurangi esensi nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline