Dunia kehidupan di bumi ibaratnya seperti soup mikroorganisme dalam sebuah mangkuk. Di semua tempat pun selalu ada mikroorganisme itu, dalam suatu flora kehidupan yang mini, yang melakukan tugasnya sebagai pengubah material besar menjadi komponen yang lebih sederhana.
Itu sebabnya, bahan organik sisa pun diuraikan karena jasanya, sehingga keseimbangan kehidupan terjadi di Bumi ini. Ada sintesis (penggabungan), dan pihak lain ada penguraian (katabolisme), berpadu dalam ekosistem.
Biogas merupakan salah satu produk yang dihasilkan karena peran aktif mikroorganisme dari kelompok 'methanogen', yakni mikroorganisme yang mampu menghasilkan gas metana, walaupun sesungguhnya biogas bukan gas metana saja, namun ada gas-gas lain seperti karbon dioksida, Hidrogen , H2S dan air. Tanpa mikroorganisme , biogas sulit terbentuk.
Pemanfaatan mikroorganisme dalam proses biogas merupakan langkah yang penting dalam pengolahan berbagai limbah, seperti limbah rumah tangga, limbah peternakan maupun pertanian. Biogas yang kandungannya dominan gas metana sangat berguna untuk bahan bakar rumah tangga, antara lain untuk penerangan, pemanas dan untuk memasak.
Namun di Indonesia instalasi biogas belum menjadi gerakan yang masif, hal ini dapat dilihat pada tempat-tempat pembuangan sampah (TPA) sebagian besar belum memiliki instalasi biogas yang mumpuni. Padahal limbah atau sampah menjadi momok yang terus menakutkan di kota-kota besar.
Di Bali dengan konsep Sistem pertanian terintegrasi (Simantri) merupakan salah satu program unggulan daerah Pemprov Bali untuk peningkatan peran sektor pertanian, keberadaan biogas sebagai salah satu produk unggulan nya, namun karena kelemahan pada sumber daya petani yang masih terbatas maka, biogas itu kerap menjadi monumen yang mangkrak. Kendalanya adalah biodigester kerap terjadi endapan sehingga terjadi penyumbatan. Hal ini disebabkan, tingkat homogenitas atau likuid dari substrat (kotoran hewan) tidak maksimal. Selain itu, kurang terkontrol dari para anggota dan dinas terkait. Salah satu yang saya amati di Simantri di Desa kejaran Kintamani Bangli memang instalasinya, mampat, dan setelah di bongkar memang terjadi pengendapan, dan diperbaiki kemudian baru bisa menyala.
Proses pengendapan itu terjadi karena suhu fermenter turun dan kurangnya pengadukan, peningkatan suhu bisa dilakukan, namun mikroorganisme mesophilic yang tidak mampu tumbuh, oleh karena itu, pemanfaatan mikroorganisme termofilik (tahan pada suhu tinggi) sangat menarik dikaji lebih jauh.
Mikroorganisme Termofilik dan Biogas.
Ditinjau dari suhu optimum lingkungan hidupnya, mikroorganisme dibedakan menjadi 4 jenis mikroorganisme , yaitu mikroorganisme psikrofil, yaitu kisaran hidupnya pada rentangan suhu antara 0-- 30 C, dengan suhu optimum 15 C, (2) Mikroorganisme mesofil, yang kisaran hidupnya pada daerah suhu antara 15 -- 55 C, dengan suhu optimum 25 -- 40 C., (3) mikroorganisme termofil ( termofilik, suku pada suhu tinggi) , yaitu yang kisaran hidupnya di daerah suhu tinggi antara 40 -- 75 C, dengan suhu optimum 50 - 65 C, (4) Mikroorganisme hipertermofil, yaitu mikroorganisme yang hidup pada kisaran suhu 65 - 114 C, dengan suhu optimum 88 C.
Dalam proses biogas memang faktor suhu memegang peranan penting, adanya energi panas yang dihasilkan selama proses fermentasi, menyebabkan mikroorganisme mesophilic (yang tahan pada suhu rendah) akan mengalami hambatan untuk mendegradasi substrat. Dalam kondisi yang terus meningkat, sehingga mikroorganisme yang tahan suhu tinggi (termofilik) yang masih bisa hidup dan bekerja untuk memproduksi biogas. Jika suhu tinggi bisa terus dipertahankan, maka keuntungannya adalah reaksi pembentukannya akan semakin cepat, karena suhu mempercepat reaksi kimia.
Mikroorganisme termofilik hidup pada suhu tinggi 50--122 C. Kebanyakan mikroorganisme ini termasuk dalam kelompok /domain bersel satu. Mikroorganisme ini tergolong prokaryote, yang berarti arcae tidak memiliki inti sel atau organel yang dibatasi membran.