Nasi kuning, adalah identitas budaya. Dia hadir dalam berbagai bentuk. Bentuk tumpeng misalnya berarti pertanda ada kejutan, bahagia, suasana meriah, ada syukuran, puncak dari usaha. Bukti sebuah keberhasilan menuju bahagia, sebab dengan tumpeng diyakini banyak harapan lancar menjadi kenyataan. Dia merupakan piranti doa yang kasat mata.
Tafsir lain yang penulis renungkan dengan sederhana, wujud tumpeng pertanda bahwa kebahagian akan muncul ketika hidup manusia sadar meruncingkan diri dalam ketajaman pikiran dan akal, sehingga laku mengolah rasa agar peka dan tajam, merupakan terminal akhir yang kerap dimuliakan dalam bermasyarakat.
Tetua di Bali kerap mengajarkan dengan beragam simbolis, Tumpeng kuning banyak diwujudkan dalam banten upacara tradisi, yang merupakan perwujudan harapan doa, seperti banten "perangkatan" dan banten ajuman yang menunjukkan penghormatan pada Hyang widi, selain itu ada 'ayaban' (persembahan'saat hari Banyu pinaruh, sehari setelah hari Saraswati, sebagai bentuk " labaan" (hadiah) setelah melakukan anyuci laksana(menyucikan diri) - di sumber air- yang disantap dengan hati penuh syukur.
Manusia diajak sadar bahwa ilmu pengetahuan bisa didapatkan ketika kita melihat sifat air mengalir, ke tempat yang rendah. Artinya orang rendah hati lebih mudah mendapat ilmu pengetahuan dari pada orang tinggi hati.
Bentuk lain, "Sulanggi" juga berisi nasi kuning, bermakna sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Tri Purusa yang kita mohonkan hadir dengan bersifat Satyam, Siwam dan Sundharam, yaitu menganugerahkan keteguhan iman, kesucian dan kemakmuran kepada umat manusia, sehingga memunculkan, sebuah tekad baru.
Tekad itu adalah dalil, bahwa ketaatan mengikuti kebenaran, mengulang-ulang nama Tuhan (japa), dan meditasi dapat diibaratkan dengan pekerjaan meluku(membajak) serta meratakan tanah. Kasih adalah air yang harus menggenangi ladang itu, membuat tanahnya gembur dan subur. Nama Tuhan adalah benihnya, dan bakti adalah kecambah yang tumbuh. Nafsu keduniawian (kma) dan kemarahan (krodha) adalah ternak, sedangkan disiplin adalah pagarnya, kebahagiaan jiwa (nanda) adalah panennya.
Namun, nasi kuning kalau hanya di bungkus dalam campuran saur kacang, sedikit sayur dan sambel, dia merupakan pengganjal perut, biasanya cocok untuk sarapan pagi, atau teman begadang bagi mahasiswa.Dia dicerna oleh api kekuatan yang ada dalam lambung dan usus, dalam konsepsi Bhagawad Gita disebut sebagi perwujudan kekuasaan Tuhan, "Aham Weswanaro bhutwam", yang ada dalam diri semua mahluk, dalam bentuknya yang Ilmiah dikenal sebagai enzim-enzim pencernaan dan HCl, yang mendegradasi biomolekul seperti: Karbohidrat , protein, lemak, asam nukleat, menjadi energi dan komponen sederhana sebagai prekursor untuk membentuk biosintesis tubuh makhluk hidup.
Maka, nasi kuning sebagai pengganjal perut, biasanya dijual pagi dan malam hari. Aroma bumbu yang khas dengan sedikit santan dalam adonan nasinya, akan terasa gurih, namun kini nasib penjual nasi kuning tidak seindah tampilannya, karena wabah Covid-19, membuat perubahan drastis.
Penjual nasi kuning selalu menyisakan cerita yang menarik, sebab semasih orang lapar maka nasi kuning akan tetap diburu. Walaupun kini, terjadi pasang surut, namun tetap saja mengeliat sebagai sumber pendapatan rakyat kecil.
Pasang surut itu adalah ciri kehidupan, yang kekal adalah perubahan. COVID-19 menyerang, dagang nasi kuning selalu tersenyum bak kisah. Sebagaimana kegelapan membuat cahaya tambah terang, masalah membuat pedagang nasi kuning selalu bangkit,dan penuh harapan semoga besok menjadi lebih baik.
Itu sebabnya rakyat kecil dalam sektor informal, berusaha mencari celah agar bisa hidup dalam desakan kesusahan akibat wabah yang tak diundang ini. Virus hadir memberikan pesan yang dalam' tantangan, dan menghadapinya adalah proses mendaki gunung, kata-kata bijak berpesan, "The best view comes after the hardest climb." Pemandangan menakjubkan datang setelah pendakian yang melelahkan.