Kehidupan orang tua dan orang dewasa, kini menjadi cermin bagi sang anak. Kelangkaan nilai-nilai karakter yang arif pada orang tua dan orang dewasa, kerap memicu berbagai persoalan dalam kehidupan anak-anak selanjutnya. Perhatian yang serius tentu wajib diberikan pada anak-anak, disini peran orang tua dan orang dewasa menjadi sangat penting. Mengapa demikian?
Seorang anak manusia adalah sosok yang paling mudah untuk dibelajarkan. Cara yang paling klasik adalah dengan meniru.Siapa yang paling mudah ditiru adalah sosok idolanya dan tentu orang tua menjadi sosok yang pertama dikenal oleh si anak dalam mengenal dunia kehidupan.
Pada model pembelajaran meniru inilah sosok panutan sangat di butuhkan. Sebab anak manusia akan terus berkembang, apa yang dia terima tidak statis namun dinamis terus dikembangkan lagi, sehingga kebudayaan manusia berkembang melebihi kebudayaan leluhurnya. Berbeda dengan burung misalnya, sarangnya tetap saja seperti itu dari generasi ke generasi berikutnya, namun manusia sungguh luar biasa, erkembang jauh dari hidup di gua-gua, kini masuk revolusi industri 4.0, dan kedepan entah kemajuan apalagi yang bisa diciptakan.
Lalu, sebuah pertanyaan layak dilontarkan pada diri sendiri, apa yang perlu mereka tiru dari kita orang tua dan orang dewasa? Sudahkah kita berkarya untuk orang lain, masyarakat , negara bangsa dan agama adi luhung yang kita miliki? Apakah aktivitas kita memerosotkan budaya atau mencerai agama kita yang suci? Jawabanya, tergantung perseketif kita masing-masing., sebab disinilah jiwa kita diuji dalam bentuk autokritik. Sepertpkan i pernah diucdiucapkan oleh John F Kennedy Ask not what your country can do for you... ask what you can do for your country.(Jangan tanyakanlah apa yang negara Anda bisa lakukan untuk Anda, tanyakan apa yang dapat Anda lakukan untuk negara Anda"
Salah satu yang kita ingin bangun pada anak-anak kita adalah jiwa kesatria untuk menerima kelebihan dan keberhasilan orang lain adalah menarik kita simak, sebab karakter demikian nampaknya semakin terdegradasi saat ini.
Jiwa kesatria, disebutkan sebagai bentuk karakter, kesatria merujuk pada profesi seseorang yang mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan keadilan prajurit, bisa pula berarti perwira yang gagah berani atau pemberani. Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan lembaga atau tokoh masyarakat yang tugasnya untuk menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan, dan keamanan masyarakat, bangsa, dan negara. Adakah karakter itu terselip dalam keseharian kita?
Kalau jawabannya belum, tentu masih ada waktu untuk berbenah. Dibingkai itu kita perlu melihat pesan indah Ki Hajar Dewantara, "Apapun yang dilakukan oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya. Butlah Nisan kehidupan yang akan kita tinggal dengan tulisan indah, sebagai penanda pencerahan bagi warga bangsa,
Bermanfaat bagi diri sendiri dan bangsa itu, diyakini merupakan tangga-tangga yang tak terlalu sulit untuk diukur dalam keseharian kita, perenungan dan motivasi telah banyak kita temui dalam kehidupan selama ini dari orang-orang sukses dalam menjalani kehidupan itu, Sebab kehidupan itu seperti laksana lautan.
Orang yang tiada berhati-hati dalam mengayuh perahu, memegang kemudi dan menjaga layar, maka karamlah ia digulung oleh ombak dan gelombang. Hilang di tengah samudera yang luas. Tiada akan tercapai olehnya tanah tep, demikian tulis Buya Hamka, pesan yang sangat memikat memang. Mengapa demikian? Sebab hidup tak selamanya pahit dan getir, suatu saat akan kita temukan manisnya hidup yang telah kita pupuk dengan rasa tulus tanpa pamrih itu. Bahkan akan lebih manis dari yang kita bayangkan. Dunia memang banyak orang yang pandai, tapi orang yang pandai belum tentu bersikap benar. Namun hakekatnya, orang yang bersikap benar adalah pandai, demikianlah kata-kiata orang bijak.
Membangun karakter penting untuk membangun bangsa, Apabila negara itu buruk, maka orang yang baik sebagai warga negara, yang dalam segala-galanya hidup sesuai dengan aturan negara yang buruk itu, adalah buruk, bahkan jahat, sebagai manusia. Demikian tulis Franz Magnis-Suseno, 1987). Berjiwa besar lebih merujuk kepada sikap siap menerima keadaan apapun atau dapat dikatakan rasa syukur. Rela terhadap kondisi yang ada di depan mata kita saat itu. Namun tak harus selamanya kita terdiam terjebak dalam situasi yang buruk, selagi kita mampu untuk berbuat demi terjadinya perubahan keadaan, maka lakukanlah kewajiban dan hak secara sehimbang.
Pun demikian kehidupan tidak selalu menampilkan banyak badai, tetapi juga wan sejuk yang indah, namun perlu hati hati. Dalil kehidupan bahwa orang menyerang sedang bercerita kalau dirinya tidak bahagia. Orang yang penuh senyuman sedang bercerita kalau dirinya bahagia. Sebab orang bahagia mempercantik dirinya di dalam. Orang tidak bahagia sibuk menjelekkan orang di luar, demikian pesan orang tua yang saya temui di desa. Berjalan dalam keheningan sukma. Kebebasan bukan terkandung dalam tindakan-tindakan yang kita sukai, tapi ada pada hak kita saat mengerjakan sesuatu yang seharusnya.