Lihat ke Halaman Asli

Adakah Nilai-nilai Catur Kotamaning Nrpati di Antara Jokowi dan Prabowo?

Diperbarui: 3 Juli 2021   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nilai-nilai Catur Kotamaning Nrpati di Antara Jokowi dan Prabowo (unsplash/sigmund)

Catur Kotamaning Nrpati adalah salah satu konsep kepemimpinan, pada era Majapahit, yang dimuat dalam sebuah buku tata negara Majapahit karya Prof. M. Yamin Parwa III, halaman 102, nilai-nilai kepemimpinan itu nampaknya bersifat universal, dan tak lapuk oleh zaman, dan menarik untuk diketahui sebagai bahan referensi ketika kita hendak memilih seorang pemimpin. 

Alasannya sederhana memilih pemimpin ibarat mengambil mutiara dari gunungan kerang, dan tentu bukanlah perkara mudah, pemimpin apalagi presiden, tentu daya seleksinya sangat  tinggi, selain berani, juga berwibawa, taat beragama dan syarat syarat lainnya,

Bagi negeri ini, pemilihan presiden untuk memimpin negeri bak , menentukan  nahkoda kapal, memiliki tanggung jawab besar  bernama NKRI, membawa penumpang 265 juta lebih,  walaupun penuh dengan logistik (buminya subur) , namun tak jarang para penumpang, juga berebut ingin  menentukan arah, sehingga pantai idaman negara dengan adil makmur bisa terancam . 

Oleh karena itu  bila pemimpinnya tak kuat sulit dibayangkan cita-cita negara adil dan makmur itu bisa tercapai. Oleh karena itu titik kritisnya, ada pada  visi dan misi serta hubungan  antara pemimpin dengan  rakyat  yang harus padu.

Sebuah hubungan timbal balik  antara kekuasaan   dan ketergantungan, seperti yang dituliskan oleh Emerson (1962) dapat menjadi suluh dalam perjalanan memilih pemimpin yang amanah. 

Namun hubungan tersebut kerap membuat benak pemimpin, masuk ke wilayah apa yang disebut struktur jaringan pertukaran sosial, yang mengedepankan apakah keuntungan yang didapat dari kontribusi dalam proses interaksinya, sehingga fenomena  dyadic change (interaksi antara sepasang individu) menjadi indikator kualitas seorang pemimpin. 

Baca juga : Peranan Hukum Tata negara dalam Pandemi Covid-19 Menuju Arah ke New Normal

Interaksi seperti ini, kerap muncul membangun jaringan yang merupakan representasi mental, yang kerap gagal manakala benak pemimpin  tak awas. Akibatnya sang pemimpin rawan masuk ke zona apa yang disebut semantogenic  disorder, yang menurut Steffy, R. A. (1993). 

Sebuah gejala penafsiran yang keliru, karena pengaruh emosional akibat ketergantungan pada keindahan 'kekuasaan yang memberikan dimensi aktualisasi diri yang tiada banding, dari sisi kemewahan materi dan kehormatan. 

Pengaruh emosional juga kerap terjadi pada sang rakyat dalam menentukan pilihannya, sebab mata rakyat kerap silau dengan tampilan fisik semata.

Disini pandangan Descartes  atas pikiran sang rakyat sebagai  benda yang berpikir (res cognisitas) harus segera  ditinggalkan dan direformasi, dan seyogyanya menuju wilayah ' proses'  untuk memahami  unsur-unsur kepemimpinan adalah resultante  beragam fungsi, selain genetika, keperibadian, penampilan, juga fungsi waktu/zaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline