Harus diakui, secara teknis di Bali masih belum bisa menghentikan penyebaran HIV secara menyeluruh. Kasusnya bagaikan gunung es yang terdeteksi masih jauh dibandingkan dengan yang tersembunyi. Baru sebatas langkah untuk pencegahan penularan sehingga kasus baru bisa di tangkal, itupun belum maksimal. Oleh karenanya, setiap orang tua maupun guru di sekolah selalu wanti-wanti menasehati agar waspada dengan HIV /AIDS.
Kekhawatiran masyarakat di Bali terhadap penyebaran HIV/AIDs sangat beralasan. Pertama, Bali sebagai objek wisata, sehingga lalu lalang manusia antar negara selalu terjadi, dan diharapkan kunjungannya terus meningkat, karena mendatangkan devisa. Wisatawan tidak serta merta steril dari virus HIV. Kedua, penutupan beberapa lokalisasi prostitusi di luar Bali, menguatkan dugaan bahwa ekses itu juga akan melanda Bali, distribusi PSK menjadi liar dan sebagian akan bermigrasi ke Bali. Bali sangat potensial karena memiliki pasar antar bangsa. HIV/AIDS adalah satu dari sederet masalah yang dihadapi Pariwisata Bali.
Sulit membantah, maraknya cafe remang-remang, selalu identik dengan keberadaan cewek caf. afe-Cewek Caf kerap menjadi bumbu penyedap sehingga animo konsumen semakin besar, lalu cafe-cafe tempat minum kian marak, dan jumlah peminat warga ke cafe seakan tidak terkontrol. Caf diduga bermetamorfosis sebagai ajang transaksi banyak hal termasuk esek-esek. Diterminal itu, resiko penyebaran penyakit kelamin, dan khususnya HIV /AIDS, tak dapat dielakkan. Berbagai kegiatan untuk mewaspadai HIV/AIDS terus diberikan ruang oleh kampus, sekolah dan pemerintah daerah, namun banyak kalangan meyakini bahwa bahaya HIV AIDS menjadi bom waktu yang siap meledak setiap saat. Di beberapa kabupaten sperti klungkung, Gianyar dan Tabanan penderita HIV terus meningkat, selain itu keberadan vaksin HIV, memang masih belum ampuh untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Di Bali penyakit HIV/AIDS sudah semakin mencemaskan. Kecemasan ini didasarkan pada meningkatnya laju penyebaran HIV/AIDS di Bali. Bali saat ini, telah menduduki laju perkembangan nomor dua secara nasional setelah Papua. Fakta ini menunjukkan bahwa berbagai upaya penanggulangan belum banyak berarti dan rapuh. Kerapuhan ini dikhawatirkan HIV /AIDS dapat mengancam kesehatan ibu dan anak. Berbagai kegiatan penanggulangan penyebaran HIV/ AIDS semacam KSPAN ditengarai mandul. Meningkatnya, kasus HIV/AIDS di Bali, cukup mengagetkan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga bulan Juni 2018, data kumulatif kasus HIV/AIDS di Bali capai 19.286 orang. Dari jumlah tersebut, Kota Denpasar menempati urutan pertama dengan jumlah penderita 7.246, posisi kedua Badung 3.141 orang, Buleleng 2.953, Gianyar 1.429, Tabanan 1.186, Jembrana 988, Karangasem 737, Bangli 408, Klungkung 399 orang, serta orang luar Bali yang menetap di Bali sebanyak 799 orang (Tribun, 29 Nopember 2018).
Oleh karena itu dibutuhkan kegiatan penanggulangan yang radikal untuk menahan laju penyebarannya, yaitu salah satunya adalah dengan model masyarakat belajar. Masyarakat belajar adalah penyadaran pada pemahaman, sikap, dan keterampilan dalam penanggulangan penyakit hiv/aids terhadap penyakit HIV /AIDS. Pemahaman dimaksudkan adalah penyadaran dan ceramah, dan juga dengan melakukan simulasi. Pada tataran pemahaman itu, masyarakat harus disadarkan bahwa, membangun pemahaman dalam masyarakat belajar merupakan elemen kunci dari respon kewaspadaan global , yang sedang didengungkan oleh masyarakat internasional.
Respon itu juga harus mampu menekan jumlah penderita infeksi HIV di dunia yang saat ini sudah 34 juta orang hidup terinfeksi HIV di seluruh dunia. Respon tersebut diharapkan mampu mencegah terjadinya infeksi baru. Penyebaran infeksi HIV ini, diduga 60% infeksi berasal dari pekerja seks komersial (PSK ), 46% penggunaan jarum suntik (narkoba), dan 40% dari pria heteroseksual yang berisiko. Sampai saat ini, respon kewaspadaan global, merekomendasikan untuk penanggulangan HIV/AIDS, melalui (a) perubahan perilaku, untuk pantang berhubungan seksual bagi kalangan beresiko, (b) kesetiaan pada mitra tunggal, (c) penggunaan kondom, dan (d) terapi antiretroviral.
Dibingkai itu, titik strategis menghambat penyebaran HIV/AIDS adalah melalui dua pintu, yaitu pertama peningkatan pemahaman masyarakat luas tentang HIV/AIDS, sehingga memunculkan daya seleksi dengan nalar sehat. Kedua, melalui perangkat teknis operasional, yaitu penyediaan antiviral, bagi anggota masyarakat dalam kelompok berisiko.
Membangun pemahaman masyarakat, bisa dilakukan dengan konstruksi masyarakat, khususnya masyarakat Bali, nampaknya belum terlalu sulit. Hal ini dikarenakan desa di Bali telah memiliki komunitas desa adat / pakraman yang berada dalam zone homeostasis dinamis, sehingga masyarakatnya mudah di edukasi dengan pengetahuan baru. Konsep ini adalah model yang bisa dimaklumi bahwa bila laju pertumbuhan penularan yang tinggi di Bali, diakibatkan oleh masyarakat terkooptasi dengan asumsi-asumsi yang salah, serta miskonsepsi tentang HIV AIDS, terus menjebak dan mengubur satu demi satu warga Bali, yang sebenarnya tidak pernah tahu dari mana mereka tertular. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah strategis dan radikal untuk melindungi kesehatan masyarakat luas dan " to safe the next generation", yaitu dengan pendekatan' Community cooperative learning.
Community cooperatif learning, merupakan sebuah cara untuk melahirkan sebuah masyarakat terdidik, dengan filosofi masyarakat diberitahu dalam kelompok belajar, kemudian mereka terinisiasi untuk mencari tahu. Titik strategisnya adalah, masyarakat paham tentang HIV AIDS, lalu mereka akan membangun sikap dan keterampilan bagaimana mereka mengatasi penularan HIV AIDS, dalam komunitasnya.
Community cooperative learning belum tersentuh secara maksimal, khususnya untuk meningkatkan pemahaman pada HIV/AIDS. Oleh karena itu perlu dibangun kesadaran masyarakat untuk menjadi komunitas belajar. Dalam hal HIV AIDS permasalahan yang muncul adalah : Pertama, pemerintah dan masyarakat ambigu terhadap pemberlakuan PERDA tentang penggunaan kondom. Legalisasi kondom, seakan mengizinkan prostitusi dan perzinahan. penggunaan kondom masih sebatas anjuran, dan tidak wajib. Nalar para konsumen PSK, seakan dilindungi, karena dengan kondom sensasinya dianggap berbeda. Kedua, ada paradigm baru bagi PSK, atau cewek kafe yang berprofesi ganda, yaitu lebih baik mati menderita lagi 5- 10 tahun lagi dari pada sekarang mati kelaparan. Ketiga, lapas belum bisa disterilkan dari pengguna jarum suntik, akibatnya lapas tetap menjadi episentrum baru menularnya HIV/AIDS.
Keempat, belum sempurnanya konstruksi pemahaman HIV, baik secara terminologi, ontologi dan aksiologi, benar-benar masih berjarak dalam benak masyarakat. Hal ini terjadi karena bangunan pemahaman masyarakat terhadap HIV AIDS dibangun dengan aktivitas ceramah, dan penyuluhan dengan bahasa yang tinggi dan kerap tidak membumi, sehingga metode ini kerap tidak mampu memberikan konflik kognitif yang berarti. Akibatnya masyarakat tidak mampu membangun pemahamannya sendiri, lalu tumbuh menjadi masyarakat yang apatis dan bisu terhadap HIV/AIDS.