Senarai kehidupan,kerap hadir memberikan 'guptasewaka' dan bernarasi dalam riak dan kesunyian, selalu beradu tak langgeng dalam kegairahan, pesona meruak mengangkasa raya yang mencerahkan jiwa, karena dualisme hadir dalam setiap sisi-sisinya, sebagai penghias romantika,bak bukit dan lembah danau jernih nan hijau, yang menghiasi dan menjelajah di nalar-nalar manusia yang merindu atas kasih kemuliaan Tuhan yang Maha Memberi. Lalu, disitulah hati dapat mekar, diberi asesori intuitif rasio yang padu, sehingga bukan saja homogenitas, yang bisa seirama, justru heterogenitas sering menjadi nyanyian keramat dan sakral bagi situs kehidupan untuk mencapai vibrasi harmoni.
Gunung dan danau di pusaran hati, melahirkan caldera kasih, yang juga menjadi tempat dimana air diliputi egoisme bermetamorfosis menjadi tirta, yang mengewejawantah 'sebagai aliran cahaya Dewa yang maha agung' sehingga melahirkan situs suci yang sakral itu menjadi living monumen, tempat berziarah, melepaskan penat fisik, menundukkan kepala keharibaan yang maha memberi, dengan percikan tirta yang suci, dan ritma mantra, di hulu danau, yang kerap membawa sensasi, dan ekstasa rohani yang dalam, dengan sebuah makna bahwa kehidupan menghadirkan dualitas yang tak terbantahkan,bahwa percikan tirta, menjadi indikator universal bahwa semakin sedikit seseorang melihat keburukan orang secara eksternal, maka semakin berkualitas kebahagiaannya di dalam hati.
Disana juga menjadi sebuah "guptalocita " bahwa ' reflikasi keindahan' menjamur menjadi translasi sintesis' semangat 'untuk mengabdi dalam ' kebersamaan' bahwa hidup di dimensi dualitas bak koin mata uang, dimuka satu ada angka dan dimuka lainnya ada gambar, beradu dalam satu wadah untuk menambah keindahannya. Itu sebabnya, sedih dan gembira, siang malam selalu berdampingan, berstana secara harmoni dalam kehidupan. Ketika ada kehidupan, maka kematian selalu hadir menyertainya, pedamping dari kelahiran.
Dibingkai itulah, konsepsi Rwa Bhineda seakan berdiri gagah menjaga kesehimbangan kehidupan manusia untuk selalu tulus dan ikhlas dalam mengarungi kehidupan dengan arung jeram yang tak terduga, semacam nilai-nilai penyadaran bahwa terimalah dualitas itu sebagai sebuah konskwesi pencitaan.
Sejalan dengan postulat Newton tentang aksi reaksi, Rwa bhineda, sudah diyakini lama dalam kedirian 'orang Bali sebagai nilai, yang menurut bahasa orang Inggris sebagai "'two opposing forces that are required to maintain universal balance." Dua kekuatan yang berlawanan untuk menjaga keseimbangan. Di ruas kebaikkan sesorang ada keburukan, juga laten disna, di kehidahan penampakan casing tubuhnya, seorang wanita, misalnya, ada keburukan/bahan yang membusuk didalam tubuhnya, yang ditutupi. Di terminal itulah, dibutuhkan 'kesiapan' untuk menerima 'keduanya' dengan ikhlas baik sebagai pendonor dan akseptor.
Dalam kehidupan yang terus bertumbuh, Maturity atau Kematangan Individu menjadi proses akhir yang terus diidamkan. Kematangan jiwa untuk berespon terhadap lingkungan secara 'tepat' dan 'adaptif'. Pada kondisi adaptif itulah kematangan berdiri menyuarakan jiwa yang seimbang.
Dibingkai untuk mematangkan jiwa dan raga itulah, pitutur secara dialogis Rajapala kepada anaknya semata wayang, Durma, menarik dismak. Durma, yang merupakan anak buah perkawinan singkatnya, dengan Bidadari kahyangan, Diah Ken Sulasih, memberikan semacam 'jimat' hidup yang perlu dipegang, dalam mengarungi bahtera kehidupan, yang amat singkat, dan selalu menghadirkan pertemuan dan perpisahan yang siap mengintip hidup manusia setiap saat.Sebab tutur ini menghindarkan kita pada dalil, bahwa kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai.
****
Matahari bersinar cerah, udara pagi terus berdesir lembut, dengan awan mulai menipis menggerayangi Bumi, menguap meninggi, dan meninggalkan butiran-butiran air bak kristal bersnar di helai daun hijau pagi itu. Rajapala berkata dengan lembut, anakku, Durma yang aku kasihi, hidup kita unik, Tiada yang tahu akan penjelmaan kita, bisa bertemu denganmu dalam kehidupan ini, adalah sebuah kemujuran , namun juga mengguratkan rasa sedih berpisah dengan Ibumu, membuat aku berpikir bahwa hidup itu bukan kekal dan kesengsaraan arus ayah terima karena mengikuti dorongan libido keinginan tahuanku pada selendang Ibu mu, yang memikat, dan mempesona, itu semua membuatkan aku seperti menatap pelangi indah kehidupan, ternyata itu semua sementara dan semu. Dan, kini pasti berakhir dan tidak kekal. Durma, pesan ayah kini juga saatnya kita berpisah juga , " bapa luas nangun kerti, kagunung alas idepang bapa mati"
Durma merunduk berkata, ayah , sejak bayi aku hidup bersama ayah, dalam diri ayah itulah aku menatap kasih ibu, yang engkau terus ucapkan bahwa Ibuku adalah 'bidadari kahyangan', kini engkau pun akan meninggalkan aku, betapa pilu dan sedih hatiku, sebab aku sudah biasa hidup dengan ayah, kini harus sendiri, Perlu ayah ketahui, ""Tidak ada pohon yang rindang untuk berteduh yang lebih sejuk dari rasa berkecukupan memiliki ayah yang bijak yang ada di dalam hatiku"
Rajapala berkata, Durma anakku, ayah nangun kerti, untuk mencari makna kehidupan, sebab jalan yang ayah tempuh, ingin menguak bahwa tapa itu tidak membuat kita senang selama-lamanya, namun membuat diri ayah sadar selama-lamanya, dan banyak orang bilang kita sudah berkali-kali bertemu dalam bentuk menjelma, dan berkali-kali juga pernah menjadi ayah, ibu, suami, istri, dan anak; menyadari siklus ini siapakah yang sebenarnya dengan permanen dapat dikatakan seketurunan, dan yang manakah dapat kita tunjuk satu keturunan permanen dengan kita, pertanyan itu membuat ening pagi itu. Sebab, Tak peduli bagaimana kerasnya kehidupanmu di masa lalu, kamu selalu bisa memulainya lagi saat ini, anakku.
Durma, dengan air mata berlinang, berkata, kemelkatanku padamu , sosok seorang ayah belum bisa terapus, bagaimana mengatasi ini ayah?
Rajapala berkata lagi, Durma anakku, Hidup itu seperti mengendarai sebuah sepeda. Untuk menjaga keseimbangan, kamu harus terus bergerak. Bergerak dalam pemahaman anakku, ketika engkau lahir sebagai manusia engkau menganggap aku adalah ayahmu, dan aku adalah memilikimu, sejatinya itu tidak ada, itu bersifat sementara anakku, sebab Kata "bahagia" akan kehilangan artinya kalau tidak diseimbangkan dengan kesedihan. Lalu bagaimana engkau bisa menghilangkan kesombongan, sederhana anakku, duduklah bersama dengan orang yang kurang mampu dan kurang beruntung, hal itu bisa menghilangkan rasa egois dan kesombongan di dalam hatimu. Barangsiapa menunjukkan seseorang kepada jalan yang baik, maka dirinya akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukan kebaikan itu, anakku .
Rajapala, menambahkan, Durma , anakku, Tidak ada hubungan yang kekal, bahkan hubungan anda dengan badan pun tidak kekal, suatu saat dan pasti akan tiba saatnya engkau berpisah dengan badanmu , sadarilah dari awal, bahwa kelahiran akan membawa sebuah konsekwensi logis, yaitu, sebuah kematian. Kematian adalah awal perjalan baru sebuah siklus, yang selalu meliputi alam raya ini,
Lalu Durma berkata lagi, "Ayah, untuk apa kehidupan itu, kalau kita hanya berpikir, toh pada akhirnya kita 'mati', maka peradaban tak bertumbuh dan mandeg.
Rajapala menjawab , anakku hidup datang dari ketiadaan dan akan kembali tiada, menyadari ini yang manakah sesungguhnya menjadi hak milik secara permanen, sedangkan cepat atau lambat akan tiba saatnya dimana dirimu akan berpisah dengan sesuatu yang dianggap kepunyaan sendiri. Sungguh sangat disesalkan, jika ada yang memperkaya diri dengan cara yang tak patut anakku, Jika kamu kehilangan seseorang, tapi menemukan dirimu yang sebenarnya, kamu menang.
Mentari mulai merangkak naik, anakku, saksikan saja, di sekelilingmu anaku, ada berapa mereka yang meninggal di dunia ini, ada kasus silang sengketa memperebutkan harta warisan di pengadilan , ketahuilah, anakku, Akan tiba saatnya kita berpisah dengan kekayaan, akan tiba saatnya kita berpisah dengan orang tua, akan tiba saatnya kita berpisah dengan anak-anak, dengan sahabat, teman dll; ketika perpisahan itu terjadi hanyalah baik buruk perbuatan diri yang setia menemani. Kita hidup dalam kesendirian, lahir ke dunia, dan pergi juga sendiri, yang kita bawa adalah, karma kita sendiri, tidak ada yang lain, kita tidak membawa karma orang lain, karma istri kita, karma putra putri kita, tidak mereka sendiri yang membawanya ke sidang pengadilan alam semesta.