Kekuasaan memang sangat menggiurkan siapa saja. Itu sebabnya banyak orang ingin mencapai puncak kekuasaan, walaupun dengan cara tak lazim. Machiavelli dalam bukunya, The Prince (1513) mengungkapkan bahwa, seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan.
Kondisi itu merupakan abuse of power yang dalam ranah modern lebih ditonjolkan dengan tindakan brutal dalam wujudnya yang halus yaitu korupsi dan tindakan dusta dengan tidak menepati janji saat kampanye. Artinya, partai politik memiliki andil besar terjadinya peningkatan entropi abuse of power di negeri ini.
Salah satu yang perlu dikritisi adalah 'kiprah' partai politik dalam meniti karier kadernya, ada kekaburan jalur eksekutif dan legislatif yang diemban oleh partai politik, dan keduanya bisa dijalani tanpa memandang faktor kejiwaan yang selama ini membentuk sang kader.
Contoh, parpol dalam merebut kursi dipuncak eksekutif kerap memilih figur non kader, karena alasan popularitas dan elektabilitas tokoh itu tinggi. Kejadian ini, menguatkan dugaan bahwa pengkaderan parpol lemah dan partai politik telah mengembangkan "demokrasi elitis yang memfasilitasi ' kelompok opurtunis untuk meraih kekuasaan dengan berperilaku kutu loncat.
Lalu, seberapa berani parpol mengusung "kadernya sendiri dalam setiap event pilkada, atau pilpres? Diskursus yang terus menjadi tantangan baru partai politik dimasa yang akan datang.
Dikoridor itu, maka translasi kearah kemandirian parpol, cenderung masih sangat lambat. Ada beberapa permasalahan yang muncul saat ini, antara lain, (1) partai masih memfasilitasi banyak tokoh untuk loncat pagar agar memenuhi hambisinya menggapai kekuasaan, (2) managemen partai masih mengandalkan karisma sosok ketua umum, atau ketua pembina, artinya, partai masih tertatih-tatih menuju partai modern.
(3) Partai politik lemah dalam sistem pengkaderan, lebih banyak mengukur diri dengan penerjunan masa yang kerap bisa dibeli dengan uang. (4). Kekuasaan (eksekutif) masih dianggap satu satunya terminal untuk mengabdi pada rakyat banyak (4). Partai politik belum memiliki sumber dana, sehingga strategi kutu loncat diduga untuk mendapatkan dana segar tambahan untuk membiayai operasional partai.
Dalam konteks percepatan transisi demokrasi yang tengah memasuki tahap instalasi dan konsolidasi sekarang ini, serta lemahnya pengkaderan partai politik di negara kita, seakan membenarkan tesis Almond dan Verba, (1963) yang termuat jernih dalam The Civic Culture : Polytical Attitudes and Democracy in Five Nations, tentang keluhuran sipil (civic virtue).
Keluhuran sipil itu adalah sebentuk kehidupan komunitas, organisasi sosial, dan pembesaran generasi muda yang membantu perkembangan peran sipil secara optimal dalam kekuasaan negara. Teori ini lebih menitik beratkan pada budaya politik yang mengasimilasikan suatu kepedulian tradisional, ilmu politik dengan tema-tema kearifan lokal.
Saat ini, keluruhan sipil akan tercermin pada ciri-ciri kepribadian demokrasi, sebagaimana yang diidentikkan oleh Harol Lasswell (1948): Sikap hangat terhadap orang lain, berbagai nilai dengan sesama, kepercayaan dan keyakinan diri seseorang, serta kemerdekaan dari rasa gelisah. Artinya adanya kesadaran dan keseriusan parpol untuk mengakhiri bentuk-bentuk elitisme yang sejauh ini terus melekat dalam pelbagai kiprah politiknya.
Publik berharap besar bahwa parpol menjadi harapan untuk membangun demokrasi yang lebih sehat dan progresif pada masa yang akan datang.