Di Pantai Kuta Bali, saya sempat hadir dan menikamati keindahan suasana pantainya, karena kampus kami, Universitas Pendidikan Ganesha melaksanakan FGD tentang Renstra-nya di tempat yang indah ini. Pantai Kuta masih tetap menjadi magnit wisatawan baik domestik maupun manca negara untuk menikmati keindahannya.
Kuta memang seakan menerima mereka dengan ramah, beragam budaya dan bangsa seakan menyatu. Terbukti suasana lalu lalang para pengunjung dan glemaournya pariwisata menjadi indikator bahwa Kuta sungguh menjadi salah satu destinasi wisata yang sangat populer di dunia saat ini.
Di bingkai itu, pariwisata tak dapat ditolak akan menghasilkan budaya baru yang amat heterogen dan dinamis. Di sudut pandang itu, Bali menjadi semakin kaya budaya dalam hal ini, disinilah kita bisa menatap bahwa Bali di zaman modern saat ini menjadi sebuah ekosistem sosial yang terbangun oleh berbagai komunitas, sehingga kehidupannya berlangsung dinamis.
Salah satu titik simpul ekosistem itu adalah komunitas urban yang bisa jadi hadir untuk mengais rezeki, namun juga ingin hidup untuk menghamburkan uang di tempat ini.
Diterminal itu, komunitas urban keberadaannya secara spontan berdifusi untuk ikut merajut agar Bali ingar bingar sebagai distinasi wisata dunia. Kaum urban ini, memberikan efek sinkronisasi penuh makna, yang bisa dikatakan meniru model autopoietik, meminjam konsepsi Frascisco Varela (1989) yang terbangun dalam sistem otomata selular.
Pada titik inilah bila resistensi difusi tak bersifat uniselular, mengakibatkan Bali menjadi medium yang rigit dan sesak, sehingga memberikan sebuah pandangan yang menjemukan serta distorsi lingkungan yang berat. Resistensi difusi itu, bisa disebabkan jika para komponen ekosistem itu abai berbagi , atau kerakusan monopoli dari kartel bisnis, sehingga menapikan peran komponen yang lain.
Faktor lain adalah kaum urban kehadirannya kerap dinafikan, penyebabnya adalah mekanisme difusi budaya urban pada tatanan kehidupan Bali mengalami turgor budaya., sehingga tautomeri pencampuran dua atau lebih budaya tak pernah mulus.
Alasannya sederhana, elemen-elemen pengusung budaya, nampaknya kurang mampu melakukan metamorfosis diri, sehingga transformasi teknologi dan pranata penalarannya tak pernah utuh terjadi di masyarakat Bali. Kondisi ini diperkuat oleh komunitas Bali yang self duplicating pada automata budaya Bali berlangsung amat lambat.
Akibatnya, kerap menjadikan kaum urban sebagai sosok kambing hitam empuk untuk dituduh atas segala kesemerautan Bali. Kondisi ini kedepan semakin menguat, karena komunitas Bali sudah hampir memasuki apa yang didalilkan oleh William F. Ogburn (1886-1959) sebagai cultural lag (ketertinggalan budaya) yang tidak pernah disadari sejak awal.
Ketertinggalan budaya adalah perbedaan antara taraf kemajuan dari berbagai bagian dalam kebudayaan pada suatu masyarakat. Komunitas Bali yang memiliki berbagai elemen mulai dari tingkat intelektual tinggi sampai tingkat rendah, namun mereka tak memiliki emulgator atau penstabil diantara elemen itu atau dengan kata lain, komunitas Bali tak memiliki struktur lembaga swadaya untuk menetrasi jurang itu.
Walaupun ada dalam struktur adat namun tak pernah terdengar kiprahnya, kerap berdiri disudut antagonis dengan saling kukuh untuk mempertahankan mazab-mazab tradisi mereka masing-masing. Akibatnya, elemen komunitas Bali yang membutuhkan sentuhan kerja intelektual mengais sendiri, diantara keangkuhan dan pamer materi para intelektual lainnya.