Bulan Mei dan juni tahu 2018 ini, berderet hari raya besar keagamaan terjadi, seperti Bulan Suci Ramadhan dan Hari raya Idul Fitri bagi umat Muslim, Hari Raya Galungan dan Kuningan bagi umat Hindu, Waishak bagi umat Buddha.
Kemeriahan menyambut hari raya tersebut amat terasa dimana-mana . Dalam bingkai itu kita menyaksikan bahwa keberagaman menjadi identitas di Indonesia yang sungguh sangat menarik. Benar adanya, apa yang ditunjukkan dalam sesanti Bhinneka Tugal Ika, yang juga dibreak down dari karya besar Pujangga Indonesia, Empu Tantular dalam kekawin Sutasoma. Berbeda-beda namun tetap satu jua.
Empu Tantular, dengan karya Sutasoma-nya itu, membersitkan sebuah pesan indah, bahwa kemampuan negara /kerajaan melakukan gerakan "sinkritisme budaya' dan adaptasi aneka ragam kepercayaan sangat berhasil, sehingga konflik atas nama kepercayaan relatif tak muncul. Siapakah yang hebat saat itu? Itulah pertanyaan sederhana bisa dimunculkan.
Jawabnnya adalah pemimpin yang ada kala itu, yang mampu membangun sebuah kultur politik pemersatu sehingga masyarakatnya " rahayu, rahajeng dan jagatdhita. " Itu semua diungkapkan dalam bentuk narasi indah dengan sebuah dalil mistis yaitu tan hana dharma manggruwe, yang intinya kebenaran 'tak ada duanya" Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tak ada kebenaran yang dua.
Nilai yang hendak diungkapkan berasal dari sari pati alam yang diformulasikan dalam bentuk persenyaawan alam, yang membuat getarannya terus mengalir sebagai sebuah sungai kejernihan pikiran dari taman indah peradaban. Sebuah aliran air kebajikan sebagai cerminan dan ajakan moralitas negara pada rakyatnya. Memberikan pemikiran rasionalitas dalam setiap nafas kekuasaan negara.
Lalu, jiwa kebangsaan hendak diguyur kepasrahan atas nama bakti sebagai abdi negara atas dasar rasiolitas bahwa hidup membutuhkan saling ketergantungan.
Oleh karena itu, rasionalitas bukan hanya bergerak tataran rasa, namun rasio untuk selalu bernalar bahwa hidup manusia harus didekati dengan nalar sehat. Akibatnya manusia yang disebut Homo sapien, mahluk yang bijaksana sangat mengena ditataran ini. Artinya, individu yang selalu menggunakan akalnya dalam bertindak.
Atas dasar rasionalitas itulah, kita ingin mencermati bahwa narasi Bhinneka Tunggal Ika merupakan realitas bangsa Indonesia, yang berada dalam keragaman, yang dinamis untuk mewujudkan sebuah larutan yang homogen dalam rasa kebangsaan Indonesia. Layaknya larutan gula dalam segelas teh, maka disisi manapun diambil pada bagian larutan teh itu, akan terasa sama manisnya. Mau dibagian atas, bagian tengah maupun pada bagian bawah akan sama juga manisnya.
Begitu juga jika dimanapun diuji tentang kebangsaan baik di Aceh,di Bali maupun di Papua dan tempat lainnya di Inonesia, rasa keindonesiannya akan sama denyutnya. Artinya, tempat, adat, agama, suku, ras, tak mempengaruhi rasa kebangsaan itu. Itulah barangkali Indonesia dalam formulasi Bhinneka Tugal Ika, sebuah nilai luhur yang terus menerus harus dihayati dan diwariskan dari generasi ke generasi sebagai penerus dan pendukung bangsa ini.
Dalam meneruskan realitas kebangsaan yang bernafaskan Bhinneka Tunggal Ika ini, memang membutuhkan energi yang sesungguhnya tidak besar, bila energi yang ada di dalam semuanya sudah tinggi, artinya dorongan dalam bentuk kesadaran muncul dari dalam diri (internally driven itu) sudah ada di dalam hati sanubari, dan secara konsisten, diteruskan dalam bentuk keteladanan, dan kesepahaman dari semua elemen-elemen bangsa ini, maka akan terbentuk persenyawaan (se- nyawa-an= satu nyawa ) kebangsaan yang padu, menjadi suatu kenyataan empiris.
Dalam posisi kepaduan itu, memijam konsepsi Rudolf Clausius pada tahun 1865, tentang entropi. Entropi adalah salah satu besaran termodinamika yang mengukur energi dalam sistem per satuan temperatur yang tak dapat digunakan untuk melakukan usaha.