Aktivitas terorisme terus mengangetkan publik negeri ini. Teroris ternyata terus beraksi dan semakin berani. Sebuah perubahan paradigma berpikir harus dilakukan sebab terorisme ini jika dibiarkan akan terus menjalar. Laju literasi para teorir itu harus terus dibendung dan reduksi agar tidak menimbulkan korban lagi.
Mengapa mereka nekat, berangat dari analisis media tersebar ke publik, maka pelaku, termasuk keluarga berada dan tertutup , oleh karena itu dapat diduga pelaku seudah masuk ke wilayah narcissistic object choice meminjam konsep dikemukana oleh pakar psikologis Heinz Kout (1972),
Apakah itu? narcissistic object choice, suatu penanaman atau investasi libido di dalam egonya. Artinya, dalam menyebarkan prinsip dan paham yang diyakininya mereka cenderung memilih pasangan yang patuh, atau sepadan dan simetri seperti diri mereka sendiri untuk meminimalkan kemungkinan tantangan terhadap pandangan dunia mereka, agar ego mereka tetap menyala.
Akibatnya, mereka menghindari terjadinya cedera terhadap ego meraka.. Cedera ego itu, disebut juga dengan istilah cedera narsistik yang dapat menimbulkan kemarahan narsistik yang merupakan ancaman yang dirasakan terhadap harga dirinya. Kemarahan narsistik adalah istilah yang pertama kali diciptakan oleh Heinz Kohut juga.
Lalu disinilah, tantangannya memamah penularan paham terorisme itu, namun perubahan pendekatan memecahkan masalah terorisme menarik lebih dipahami secara serius, Sebabnya, terorisme kini semakin clear and present danger, bahaya sudah tidak jauh lagi dan tidak berada dalam film atau di negara nun jauh disana, namun sudah ada di sekeliling kita dan di depan rumah kita.
Mengapa demikian? Apakah ini ekses dari kemajuan informasi yang menglobal? Jawabnnya jamak. Namun tak bisa dipungkiri bahwa terorisme salah satu bentuk baru perlawanan terhadap "the establishment of globalization (kemapanan globalisasi) bersifat trans-nasional. Saat ini gejala itu semakin sulit dibantah.
Kemapanan globalisasi selain memberikan keuntungan, disisi lain juga berkontribusi terhadap penderitaan kehidupan masyarakat dunia. Kondisi ini, memicu munculnya gerakan baru, sebagai balancing globalisasi, yang menurut pemikiran Steger dan Wilson, yang dimuat dalam jurnal International Studies Quarterly (2012), disebut sebagai Anti-Globalization atau Alter-Globalization". Alter-globalisasi (atau alter-mondialisation dalam bahasa Perancis) adalah nama gerakan sosial yang mendukung kerja sama dan interaksi global, tetapi menolak efek-efek negatif globalisasi ekonomi.
Globalisasi menimbulkan berbagai titik alienasi kemanusiaan. Harus diakui, bahwa pengaruh globalisasi di bidang sosial budaya memunculkan beragam sikap buruk manusia, seperti sikap individualisme, konsumtif dan materialistis.
Manusia dihargai tidak tinggi seperti yang dikemukan dalam karya tulis La Mettrie" manusia sebagai mesin (L'homme machine). Manusia tak melakukan pengendalian atas dirinya sendiri, dan berprilaku seperti robot. Padahal manusia bukanlah mesin, ia punya akal dan jiwa yang membedakannya dari makhluk lain. Karena manusia memiliki kompleksitas dirinya yang tak dapat diukur, misalnya saja ketika berhadapan dengan momen-momen eksistensial menunjukkan bahwa manusia multi dimensi.
Disinilah globalisasi belum mampu menyentuh dimensi manusia secara menyeluruh, dan memicu manusia untuk bekerja keras agar bisa mendapatkan uang atau materi untuk bertahan hidup. Hal ini mendorong munculnya sikap individualisme bagi setiap orang. Tentu sikap ini mendegradasi semangat gotong royong dan sifat kekeluargaan yang dimiliki oleh manusia Indonesia sebagai makhluk sosial. sehingga paham radikalisme semakin semarak di era global karena laju informasi yang masif dan terbuka.
Ketika, karakter mahluk sosial tereduksi, maka muncullah sifat mementingkan diri dan golongannya. Kondisi ini memunculkan paham radikalisme semakin semarak di era global karena laju informasi yang masif dan terbuka.