Lihat ke Halaman Asli

Presiden Terbaik Pilihan Bangsa Indonesia

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14059024751542842988

Ter terasa Pemilu 2014 akan segera berakhir menyisakan dua putra terbaik bangsa, yaitu Prabowo Subianto - Hatta Rajasa (Prahara) dan Joko Widodo - Jusuf Kalla (JKWJK). Perhelatan pemilihan umum sudah mencapai anti-klimaks dengan menyuarakan demokrasi rakyat yang berasaskan LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia). Indonesia dengan total populasi sekitar 250 juta orang menjadi negara terbesar ke-empat di Dunia setelah China, India dan Amerika.

Sebagai negara terbesar ketiga di Dunia yang menjalankan sistem demokrasi untuk menentukan pemimpin setelah India dan Amerika, Indonesia sudah tentu di perhitungkan sebagai salah satu negara yang demokratis. Bahkan 6 bulan sebelum diadakannya Pemilu Legislatif 2014, nama capres yang terus dilambungkan melalui survai elektabilitas adalah Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya perubahan menuju Indonesia yang lebih baik secara aklamasi terus mendorong elektabilitas kedua calon pemimpin ini.

Baik Jokowi maupun Prabowo diyakini oleh 188 juta pemilih akan mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik. Hal ini tidak dapat kita bantah, terbukti dari sejumlah lembaga survai seperti SMRC, LSI, CSIS dan lainnya yang terus memunculkan kedua capres ini.

Prabowo Subianto diyakini memiliki karakter tegas, berwibawa dan menjunjung harkat serta martabat bangsa. Sebaliknya Jokowi diyakini memiliki karakter merakyat, perduli pada masyarakat bawah, anti-korupsi dan juga etos kerja yang luar biasa melalui hasil karya di lapangan. Terbukti pada saat pileg 2014 April lalu, kedua capres terbaik bangsa ini mendominasi perolehan suara wakil rakyat. Jokowi melalui PDI-P mendapatkan lebih dari 18.5% suara DPR, sedangkan Prabowo melalui Gerindra mendapatkan lebih dari 11%. Dengan "hanya" 11% suara DPR, bahkan Prabowo dapat "menyingkirkan" ambisi ARB untuk maju sebagai capres maupun cawapres, mengapa? Sekali lagi, elektabilitas suara Prabowo diyakini merupakan amanah rakyat untuk maju menjadi calon Presiden, sebaliknya elektabilitas ARB yang memang rendah diyakini menjadi penghalang bagi Golkar untuk membentuk koalisi.

Prabowo dengan elektabilitas yang tinggi dan mumpuni mampu mengumpulkan partai-partai pendukung seperti Golkar, PAN, PPP, PBB, PKS dan terakhir "Sang Penguasa" yaitu Demokrat. Perolehan suara koalisi merah putih ini bahkan mencapai lebih dari "50%" suara rakyat Indonesia, sehingga diatas kertas, sepertinya mereka akan mampu mengungguli koalisi Jokowi.

Sebaliknya, Jokowi sendiri meyakini bahwa elektabilitas beliau yang terus naik  sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta menjadi salah satu faktor kunci akan keberhasilan Jokowi sampai saat ini. Jokowi adalah fenomena, mengapa? Sosok Jokowi diyakini oleh sebagian besar rakyat Indonesia mampu membawa Indonesia menjadi negara yang anti-korupsi, jujur, bekerja, bekerja dan bekerja. Karakter itulah yang mampu membawa Jokowi menyandang predikat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Karakter "blusukan" yang bahkan kerap kali disebut sebagai pencitraan ternyata mampu membawa PDI-P menjadi pemenang Pileg 2014. Jokowi yang mengusung koalisi tanpa syarat ini ternyata membawa angin segar bagi Nasdem yang untuk kemudian bergabung didalam koalisi, diikuti dengan PKB, Hanura dan terakhir PKPI.

Ketika pada akhirnya dua capres ini mendaftarkan diri kek KPU menjadi capres, sudah diprediksi bahwa akan terjadi persaingan yang ketat. Prabowo dengan membawa "gerbong" besar dan juga dukungan partai penguasa serta dukungan materil dari pengusaha sekaliber Harry Tanoe sepertinya akan dengan mudah mengalahkan koalisi tanpa syarat Jokowi-JK.

Akan tetapi ada faktor "X" yang diyakini menjadi titik balik dan faktor penentu pendorong elektabilitas Jokowi, yaitu "voluntarisme / voluntarism". Kerelawanan ini menjadi faktor yang membuat efek "WOW" terhadap elektabilitas Jokowi. Faktor X ini banyak ditandai dengan menurunnya angka "golput", antusiasme masyarakat pada saat pencoblosan, konten kreatif dari relawan dan tim sukses serta hal-hal lainnya.

Bahkan pilpres 9 Juli lalu memiliki DPT (Daftar Pemilih Tetap) terbesar sepanjang perhelatan Pemilu di Indonesia, dengan lebih dari 188 juta suara DPT. Selanjutnya dapat dilihat dari berbagai hasil quickcount yang dilakukan oleh berbagai lembaga survai dan institusi membawa Jokowi mengungguli Prabowo. Bahkan institusi independen seperti TVRI turun meramaikan "pesta" terbesar demokrasi 5 tahunan ini yang juga mengungguli Jokowi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline