Sebelumnya, saya memohon maaf jika tulisan ini menyinggung beberapa pihak yang belakangan sering menggunakan istilah ini.
Saya tidak bermaksud untuk menghalangi niat baik untuk “membeli Indonesia”. Bagi saya idenya cemerlang, patut didukung. Namun belakangan, gerakan itu menjadi eksklusif, di mana ada entry ticket yang harus dibayar untuk bergabung dalam gerakan ini.
Saya sendiri mengenal gerakan “beli Indonesia” dari sebuah komunitas. Penggagasnya adalah Heppy Trenggono, seorang pengusaha sukses yang jarang diliput media. Profilnya bisa dilihat disini
Idenya adalah kita membeli produk Indonesia, meningkatkan produksi, memperbaiki kualitas produk yang sudah ada agar dapat bersaing dengan produk impor.
Ya, Heppy Trenggono miris melihat bahwa garam dapur dan beras saja harus diimpor oleh sebuah negara besar bernama Indonesia. Saya mendukung gerakan ini. Tingkat konsumeritas masyarakat kita memang mendorong pengusaha menjadi pembeli dan pedagang, ketimbang menjadi produsen seperti di negara lain.
Belakangan ini istilah “membeli Indonesia” kembali beredar di BBM dari beberapa penggiat bisnis pulsa dan loket pembayaran online (Payment System) milik seorang Ustadz ternama. Entah mengapa saya merasa arti “membeli Indonesia” dikerdilkan. Hanya dengan cara bergabung dengan jaringan bisnis sang Ustadz, kita dibuai dengan mimpi “membeli Indonesia”.
Banyak yang terbuai, dengan bergabung di jaringan bisnis para member merasa akan bisa ikut mendirikan hotel, apartemen, bahkan bank! Pada kenyataan tidak seperti itu! Calon investor tetap saja harus menyetor kembali sejumlah uang untuk membeli hak kepemilikan hotel atau apartemen tersebut.
Dan itu mereka sebut “membeli Indonesia”. Hmmm…
Bagi saya “Membeli Indonesia” yang sebenarnya itu adalah seperti yang dikatakan Heppy Trenggono. Atau dengan cara cepat, kita bisa membeli berbagai perusahaan Indonesia yang sudah go public di bursa saham.
Kita sering kali mengeluh, bahwa negara kita dikuasai asing. Asing mengeruk keuntungan besar dari negara kita. Pada kenyataannya kita sendiri yang membiarkan diri kita dibeli. Kita tidak berusaha membeli kembali perusahaan milik bangsa sendiri.
Pasar modal telah membuka jalan bagi kita untuk turut menjadi pemilik perusahaan yang telah go public.