Lihat ke Halaman Asli

Antisipasi Depresi Agitasi: Amukan Kemarahan Massa

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14060500822032728609

Tanggal 22 Juli nanti akan diumumkan resmi siapa yang terpilih menjadi presiden negara kita melalui pemilu kemarin. Masyarakat yang menjadi pendukung, atau pemilih yang mencoblos capres tersebut, akan melonjak bersukaria gembira. Sebaliknya, mereka yang mendukung dan memilih capres lainnya, akan terpuruk dalam kekecewaan dan kefrustasian yang mungkin cukup berat. Kekecewaan karena jagonya kalah ini akan menjadi tekanan psikis berkepanjangan atau depresi, yang bisa berlanjut – dengan sedikit picuan – menjadi ledakan kemarahan dan amukan bersama. Ini disebut “depresi agitasi massa”. Di waktu lampau, “depresi agitasi” secara massal meledak karena tekanan sosial ekonomi yang berat dan kecemburuan sosial. Misalnya muncul dalam pembakaran toko-toko, mobil, dan penganiayaan terhadap etnis Cina seperti di Solo atau Jakarta. Meski ini dipicu oleh kelompok tertentu yang tak pernah terungkap.

Karena itulah untuk mengantisipasi hal yang membahayakan dan merugikan ini segenap pihak harus bersikap sabar, arif, ikhlas, menerima dan percaya. Siapapun presiden terpilih, adalah baik dalam arti adil, jujur, bijaksana, akan memajukan bangsa dan mensejahterakan seluruh rakyat. Karena belum terbukti sebaliknya. Semua pemilih (pencoblos) adalah saudara, teman, bangsa kita sendiri yang sama-sama memimpikan perubahan kearah kebaikan. Memilih hanya syarat yang harus dikerjakan dalam proses demokrasi. Dan beda pilihan adalah hal yang biasa dalam bangsa yang yang “Bhineka Tunggal Ika” ini. Dengan sikap mental seperti ini, depresi agitasi massa berupa amukan, tawuran dan pengrusakan bisa dihindari.

Depresi – dalam arti kekecewaan, kesedihan dan kefrustasian yang berkepanjangan – akan menekan enerji manusia – ia jadi diam, menarik diri, melamun – dan akhirnya enerji bisa meledak dalam bentuk kemarahan dan pengrusakan terhadap lingkungan maupun diri sendiri (self-destruction). Mengamuk, naik kendaraan ngebut nabrak-nabrak adalah sampai bunuh diri adalah tindakan “self-destruction” itu.

[caption id="attachment_316443" align="aligncenter" width="300" caption="Sebuah karya senirupa yg menggambarkan amukan massa dalam festival seni ART/JOG/14, Taman Budaya Jogyakarta, Juni 2014 - dok.pribadi"][/caption]

Amarah adalah emosi yang paling menghancurkan – lebih merusak daripada kecemasan, rasa bersalah atau depresi itu sendiri. Rusaknya kesehatan fisik dan mental akibat kemarahan telah diketahui dengan baik saat ini. Tapi darimana kemarahan berasal? Bagaimana kemarahan bisa meledak? Jawaban sederhananya, ini karena kita menciptakan kemarahan dengan menempatkan tuntutan pada diri sendiri dan orang lain.

Ini adalah tema yng selalu muncul, akibat dari “seharusnya” dan “harus”. “Jagoku seharusnya yang menang”; “Dia yang harus terpilih jadi pimpinan”. Kecuali anda Tuhan yang mengatur jagat raya, anda tidak akan benar-benar tahu apa yang “seharusnya” dan “harus” akan terjadi. Anda tahu apa yang lebih anda sukai, apa yang anda ingin dan harapkan, apa yang anda pikir benar dan salah, baik dan buruk, tetapi itu bukan berarti hal itu akan benar-benar terjadi sesuai keinginan anda dan anda berhak marah kepada siapapun bila hal itu tak terlaksana.

Buanglah kata “seharusnya” itu, dan lihatlah apa yang akan terjadi dengan emosi kita. Beban akan hilang, rasa marah kita akan berkurang, dan kita mungkin dapat hidup lebih panjang, lebih sehat, dan lebih bahagia. Apakah untungnya bila kata “seharusnya” tetap terpateri di benak kita?

Sering kali, ekspresi marah diikuti dengan penarikan diri dari orang lain. Orang yang mudah marah sering kali memiliki konsep diri yang negatif dan tidak mudah menerima diri sendiri. Kemarahan berada di belakang kondisi konflik antar pribadi, kegagalan harapan, perselisihan rumah tangga dan lain-lain. Hal ini dapat meningkat ke arah permusuhan, perang, perusakan, dan bahkan pembunuhan. Kemarahan yang disimpan atau ditekan dapat mengakibatkan gangguan medis, seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung koroner. Namun pendapat lain menyatakan, justru kebalikannya yang terjadi. Jika anda meledak seperti sebuah roket atau mengamuk seperti kerbau gila, tindakan tersebut justru memberikan ketegangan pada sistem kardiovaskulair (jantung dan pembuluh darah).

Jadi perlu kiranya mengekspresikan kemarahan dengan intensitas yang lebih lembut supaya tidak menghancurkan diri sendiri. Perawat-perawat di RSJ menyuruh pasien yang marah untuk mengekspresikan kemarahannya dengan memukuli kasur atau bantal. Atau memukuli pintu dan dinding dengan pentungan dari bursa empuk. Waktu kecil, saya yang marah pada adik-adik saya memukuli batang pisang besar di belakang rumah. Batang pisang itu itu tidak roboh, malah tangan saya yang kurus kecil lecet-lecet. Tapi saya lega, dan masuk rumah menemui adik-adik saya dan orangtua saya dengan senyum berseri.

Meski saya kalah, saya tidak suka kamu menghina saya di depan umum”; atau “Meski bapakku korupsi, saya tidak suka kamu merendahkan bapak saya di depan umum”. Perkataan ini diucapkan dengan tenang tapi mantab. Dengan nada rendah, bukan nada tinggi sambil memukul meja, menghentakkan kaki atau berteriak keras. Inilah ekspresi marah yang tepat. Diucapkan secara langsung, tenang dan sederhana, tapi bisa mengungkapkan perasaan anda dan maksudnya mengena. Tanpa menyakiti. Disebut pernyataan yang asertif. Mungkin orang lain akan buru-buru minta maaf bila hal itu memang tak disengaja.

Meledak marah dan kehilangan kontrol hanya akan membawa anda ke situasi yang tidak menguntungkan. Saya pernah mengalami hal itu dan saya menjadi sesak napas, nyeri dada, tekanan darah saya meningkat tinggi sampai kaku kuduk dan tegang di kepala. Jika kita terbawa amarah, hal ini hanya akan menunjukkan seberapa besar kekuatan yang dimiliki orang lain atas diri kita.

Program pengurangan amarah yang efektif meliputi latihan yang menuju target-target berikut ini : (1) menaikkan tingkat kebahagiaan anda secara keseluruhan; (2) belajar untuk rileks sepenuhnya; (3) belajar untuk “membiarkan” pemicu amarah yang tidak penting; (4) belajar untuk mengekspresikan kemarahan dengan cara yang asertif, bukan agresif.

Sekali lagi, dibalik semua kemarahan terdapat “seharusnya” atau “harus”. Ini sebaiknya dihilangkan. Semakin sedikit “seharusnya” dan “harus”, semakin bahagia anda dan semua orang yang berhubungan dengan anda. Dengan ini semua kita menyambut pengumuman presiden 22 Juli. Dengan sabar, ikhlas, tanpa “seharusnya”, dan arif bijaksana.****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline