Lihat ke Halaman Asli

Inung Kurnia

TERVERIFIKASI

Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Melihat Insiden Kanjuruhan dari Mata Bukan Penggemar Bola

Diperbarui: 2 Oktober 2022   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lapangan bola Kanjuruhan Malang pasca insiden (ist/detik)

Saya bukan seorang penggemar sepakbola. Tak hanya saya, sekeluarga bahkan. Meski dalam keluarga saya, 6 dari anak bapak ibu saya, dua adalah cowok. Mereka main bola sekadar bola kelas kampung yang mainnya di halaman masjid atau di sawah ketika musim kering. Tak lebih.

Ketika saya menikah, secara kebetulan suami dan keluarganya juga penggemar bola. Mereka menonton bola sekadarnya. Tidak ada istilah sampai begadang hingga dini hari hanya untuk menonton bola.

Pernah sekali waktu, saya bertanya kepada teman cewek satu kantor yang tergila-gila bola, apa menariknya permainan bola. Saya lupa apa jawaban si teman, karena itu kejadiannya sudah belasan tahun lalu. Tetapi yang saya tahu, teman ini masih menjadi penggila bola. Ini bisa dimonitor lewat status WA dan status media sosialnya terutama FB.

Untuk kegemarannya tersebut, seringkali teman saya rela begadang, rela menyambangi nobar kalua lagi ada even bola dunia. Saya? Jangan ditanya, biar kata tetangga kanan kiri hiruk pikuk ketika nobar bola di TV, saya dan keluarga tetap adem anyem, tidur nyenyak tanpa ada gangguan. Televisi mati sejak sore.

Bagi penggemar bola, mungkin ini hal yang aneh. Ada ya, di dunia ini orang yang nggak suka nonton permainan bola. Padahal jenis olahraga ini barangkali paling banyak memiliki penggemar fanatiknya.

Soal mengapa saya dan keluarga tidak gemar nonton bola, tidak ada alasan yang pasti. Pokoknya tidak suka saja. Nonton ala kadarnya, sambil lalu. Bahkan jika ada teman yang berapi-api bercerita tentang klub bola kesayangan, saya memilih mendengarkan sambil main HP. Hahaha..jahat mungkin. Tapi lebih jahat kalua ada orang yang memaksa saya mendengarkan cerita sesuatu yang memang tidak saya gemari.

Meski bukan penggemar bola, namun ketika membaca insiden kerusuhan pertandingan bola Arema vs Persebaya pada malam Minggu (01/10/2022), saya tergelitik untuk mengikuti beritanya. 

Saya pasti sedih, prihatin dan tak habis pikir, bagaimana sebuah permainan yang semestinya menghasilkan kegembiraan malah berujung ironi, membuahkan derai air mata. 

Haruskah sebuah permainan dibayar sedemikian mahalnya? Ratusan nyawa melayang hanya untuk sepakbola yang kelasnya juga tidak bergengsi-gengsi amat. Maaf ya, jangan tersinggung wahai penggemar bola.

Bagi saya, sulit memahami mengapa tragedy seperti ini bisa terjadi. Apakah menonton bola langsung di pinggir lapangan, rasanya berbeda dengan menonton lewat layer kaca atau streaming media sosial yang kini banyak beredar? Toh jalan permainannya sama, hasilnya juga akan sama antara yang ditonton langsung di lapangan dengan yang melalui layer kaca atau media sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline