Lihat ke Halaman Asli

Merah-Putih

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selama merah masih diatas putih, selama itulah kuserahkan seluruh tumpah darahku demi Bangsa dan Tanah Airku, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6000 tahun sang saka merah Putih melambangkan kepercayaan akan sebuah matahari dan bulan yang menjadi lambang akan zat yang hidup di Tanah ini, Dwi Tunggal. Melibatkan sepasang Adam dan Hawa, laki-laki dan perempuan memiliki darah merah dan darah putih dialiran nadi-nya. Individu yang apabila disatukan akan melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Yang memegang teguk martabat dan harga diri bangsa, memegang teguh asa tentang rohani yang lebih esensi, lebih sederhana, lebih tunggal.

Dan juga alam duniawi yang eksisten, kompleks, dan plural. Bangsa Indonesia pramodern memandang hidup dariarah rohani daripada duniawi. Inilah sebabnya penggunaan simbol warna lebih sederhana ke arah tunggal. Jika disebut buta warna, berarti buta duniawi, tetapi kaya rohani.

Merah Putih dari pemikiran primordial Indonesia. Merah putih itu ” zat hidup”, potensi, daya-daya paradoksal yang menyeimbangkan segala hal: impoten menjadi poten, tak berdaya menjadi penuh daya, tidak subur menjadi subur, kekurangan menjadi kecukupan, sakit menjadi sembuh . Merah-putih adalah harapan keselamatan. Dia adalah daya-daya sendiri, Positif dan negatifmenjadi tunggal.

Menyajikan ‘jati diri’ budaya Bangsa pada sajian Bubur Sengkala (Bubur merah dan bubur putih), bahwasanya manusia adalah seonggok jasad yang ditiupkan ruh padanya. Beralih dari suatu dunia tak tersentuh kepada dunia fana atas menyatunya mani laki-laki pada sel telur perempuan.

“Merah darahku, Putih tulangku, menyatu dalam semangatmu…”

Tepat enam-puluh-lima tahun yang lalu, sang proklamator kita duduk bersama dalam sebuah forum. Berbatang-batang nikotin dan bercangkir-cangkir cafein memberi dopping semangat dan pemikiran cerdik, melahirkan semangat berdiri dan mandiri pada selembar kertas teks proklamasi.

Paginya, radio-radio tak lagi mencuap-cuapkan kebohongan seperti yang dikatakan Soe Hok Gie. Serempak mereka memperdengarkan lantang suara Bung Karno menyuarakan kemerdekaan, NKRI Harga Mati, Bung! Kami merdeka!

Sepuluh tahun kemudian Negaraku dilanda ke-apatisan masyarakat pada pemimpinnya. Kekuasaan seumur hidup membayang-bayangi ketundukan rakyatku, bukan, bukan simpati. Tapi mereka masih mengangis, terharu biru setiap kali berdiri sambil hormat dibawah terik matahari menyaksikan perlahan-lahan Sang Saka Merah Putih naik ke ujung tiang bendera.

Tiga puluh tahun kemudian, Nenek dan kakekku dengan bangganya meskipun dengan sisa-sisa kekuatannya masih sanggup bercerita, tentang perjuangan, tentang pertumpahan darah, tentang kepuasan kemerdekaan Bangsa ini yang telah dinanti-nantikan ringkih senyumnya dan lemah tawanya. Hati kecilku tergugah, inilah bangsaku… aku bangga atas kemerdekaannya!

Lima puluh tahun kemudian, aku hanya mampu mengenang cerita perjuangan para punggawa Tanah Air ini hanya melalui pusara Kakek dan nenekku yang telah lama mati. Perih mengenang, tertancapkan bendera merah putih dari kayu, bertuliskan ‘pedjoang’. Rintik air mata menjejak bumi, aku merasakan sisa-sisa semangat dalam hati yang berdebar kala kemerdekaan diproklamasikan diseluruh sudut tanahku.

Tahun ini, aku hanya bisa menangis.

Kali ini bukan terharu, bukan bersemangat, melainkan sedih hatiku.

“Kulihat Ibu pertiwi sedang bersusah hati, Air matanya berlinang….”

Generasi penerus bangsa musim ini hanya mampu bersuara dan berteriak, giliran mereka diberi kedudukan dan jabatan, semua berkhianat. Petua bangsa otoriter.

Tujuh belas agustus bukan lagi hari yang sakral. Bagaimana bias sacral?

Perut menahan lapar tanpa sesuap nasi sepanjang hari,

Yang kenyang perut mengembung sibuk memperkaya diri,

Tanahku tak lagi hijau, lautku tah lagi biru,

Sungaiku mengalirkan darah,

Alam mengamuk,

Langit bergemuruh.

Siapa peduli?

Bumiku merintih kesakitan, tak ada yang mendengar.

Mana sempat mengagungkan upacara bendera?

Bukti bahwa alam Indonesia memiliki ‘darah biru’, sekarang bukan apa-apa. Kupertanyakan hakikat ‘Bhinneka tunggal ika’.

Kembalikan Bangsaku, Kembalikan Tanah Airku, wahai Generasi Penerus Bangsa,

Dengarkanlah aku memproklamasikan,

NKRI ini HARGA MATI. Ayo Berjuang! Ini Negara berdaulat, Ayo bersatu!

Salam satu jiwa, Indonesia!

Selamat 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, meskipun terkadang masih sangsi apakah kita benar-benar telah 'merdeka'?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline