Perempuan itu menghela napas panjang sambil memandang layar ponselnya. Ia baru saja menerima sms pemberitahuan bahwa ia gagal seleksi penerimaan karyawan di sebuah perusahaan. Ia mengigit bibir, lalu menjejalkan ponselnya sembarangan ke dalam tas.
Lagi-lagi gagal, pikirnya. Sudah beberapa lama sejak ia lulus dari universitas. Namun hingga saat ini ia masih belum berhasil mendapatkan pekerjaan. Sudah berpuluh-puluh surat lamaran ia kirimkan ke berbagai perusahaan. Meskipun telah beberapa kali ia medapatkan panggilan tes, namun hingga sekarang belum pernah ia berhasil lulus hingga ke tahap wawancara.
Ia menghela napas lagi, seolah-olah dengan begitu ia bisa mengalirkan sebagian rasa sesak di dadanya ke udara bebas, membaginya dengan dunia. Namun dengan setiap helaan napas, sesak yang ia rasakan justru makin menjadi. Tenggorokannya terasa tercekat. Ia segera menelan ludah, meski mulutnya terasa kering. Ia tidak ingin menangis di tempat umum seperti ini. Apa yang akan orang katakan jika mereka melihat seorang perempuan dewasa menangis tanpa sebab yang jelas di tengah jalan?
Ia merapatkan jaketnya. Udara terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Setiap kali ia menghembuskan napas, ia dapat melihatnya berubah menjadi uap di depan mata. Langit telah lama berubah gelap, tak satupun bintang yang tampak bergelantungan di sana, menimbulkan kesan bahwa sang langit sedang kesepian.
Ia memandang berkeliling. Beberapa orang lain juga tengah berdiri di pinggir jalan sepertinya, tak jauh darinya. Sepertinya mereka juga tengah menunggu sesuatu. Atau seseorang. Atau mereka sedang tidak menunggu siapa-siapa, hanya berdiri tanpa tujuan, menikmati dinginnya udara yang menusuk-nusuk kulit seperti jarum dan menikmati hujan salju yang turun.
Ya, hujan salju. Hujan salju turun di kota yang beriklim tropis ini sejak beberapa bulan yang lalu. Ia masih ingat, ketika pertama kali butiran putih itu turun dari langit di kota ini, setelah sebelumnya didahului oleh udara dingin yang tidak wajar selama seminggu, penduduk kota dilanda kecemasan, bahkan ketakutan. Mereka bilang kiamat akan segera datang.
Namun sepertinya sekarang mereka sudah lupa dengan ketakutan mereka. Semua orang sudah kembali sibuk dengan rutinitas hidup masing-masing, seolah-olah kiamat pun tidak mampu mengalihkan pikiran mereka dari tuntutan hidup yang menekan. Anak-anak kembali bersekolah, pegawai kantor kembali bekerja, para pedagang kembali berbisnis, pemilik toko kembali berdagang, guru-guru kembali mengajar, mahasiswa kembali ke kampus, dan para pengangguran kembali hilir mudik mencari pekerjaan. Ya, kehidupan kembali normal. Satu-satunya yang abnormal hanyalah salju yang turun terus menerus turun dari langit, yang hanya diselingi cuaca cerah sekedarnya, hanya cukup untuk membuat lapisan salju tipis yang menyelimuti seantero kota mencair, sebelum akhirnya digantikan oleh lapisan salju tipis yang baru.
Ya, semua seolah kembali normal. Jika ada yang lebih abnormal dari turunnya salju tersebut, itu adalah kenyataan bahwa tampaknya sama sekali tidak ada ketertarikan dunia luar terhadap fenomena aneh ini. Tidak ada pemberitaan di media massa, entah itu televisi, koran, majalah, atau internet. Seolah-olah seluruh dunia menganggap turunnya hujan salju di daerah tropis adalah sama wajarnya dengan fakta bahwa permen itu manis, dan lemon itu asam.
Ia melihat jam tangannya. Pukul sembilan malam. Dia mulai tidak sabaran. Sedari tadi ia menunggu angkot yang kosong, tapi tidak kunjung datang. Yang lewat hanya angkot-angkot penuh sesak dengan orang-orang dari berbagai tempat yang hendak buru-buru pulang. Ia juga ingin cepat-cepat pulang. Ia mengantuk, dan udara yang semakin dingin menusuk membuatnya ingin cepat-cepat bersembunyi di balik selimut tebal kamar kosnya.
Untunglah, tak lama kemudian, sebuah angkot memuatr balik dari seberang jalan. Ia melihat, sepertinya bukan hanya dia yang mengincar angkot itu. Orang-orang di sekelilingnya juga mulai bergerak mendekati angkot yang bahkan belum merapat ke tepi jalan itu. Ia juga harus segera bergerak. Kalau tidak, mungkin ia akan kehabisan tempat duduk. Padahal jalanan sudah mulai sepi, dan entah akan masih ada angkot atau tidak.
Bahkan untuk hal-hal kecil seperti inipun semua orang harus bersaing, pikirnya, sambil berlari menyerbu angkot itu.
***
Ia melemparkan diri ke atas tempat tidur, lalu ngulet beberapa saat. Ah, punggungnya terasa lebih enakan. Seharian berjalan ke sana ke mari nyaris tanpa tujuan, membuat seluruh badannya terasa pegal.
Ia berbaring sebentar, memandang langit-langit kamar kosnya yang mungil. Kamar kos itu dalam keadaan remang-remang, karena lampunya dibiarkan padam. Satu-satunya penerangan adalah cahaya yang datang dari lampu jalan di gang luar rumah kos yang menerobos masuk melalui lubang ventilasi di atas jendela kamar, meninggalkan garis-garis cahaya kekuningan di langit-langit kamar yang suram.
Pikiran si perempuan kosong, pandangannya tidak fokus, seolah-olah ia mampu melihat menembus langit-langit kamar, memandangi bintang-bintang yang bahkan tidak tampak menggantung di langit di luar sana. Entah apa yang ia pikirkan. Namun setelah beberapa saat, ia bergerak menjangkau tasnya, dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas tersebut. Ia setengah berharap ada sms yang masuk, mengabarkan bahwa ia lulus seleksi administrasi perusahaan apa saja.
Kecewa karena tidak ada satupun sms yang masuk, ia memutuskan untuk mengecek akun facebook-nya lewat ponsel. Ah, seorang temannya menulis status bahwa akhirnya ia mendapatkan pekerjaan. Membaca ini, perempuan itu tertegun. Seharusnya berita ini membuatnya ikut bahagia, namun kenyataannya justru hanya mengingatkannya lagi kepada keadaannya yang tanpa pekerjaan, pada statusnya sebagai pengangguran. Ini membuatnya merasa tidak nyaman, membuatnya merasa kalah, membuatnya merasa seperti pecundang. Kegagalan-kegagalan yang telah ia alami beberapa tahun belakangan seolah-olah disajikan kembali di depan matanya. Maka ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kegiatannya itu, dan meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur.
Pikirannya kembali mengelana. Kali ini kepada orang tuanya di kampung halaman. Apa kabar mereka? Rasanya sudah beberapa lama semenjak terakhir kali ia menelepon ke rumah. Sesungguhnya ia amat merindukan mereka. Namun serindu apapun ia pada mereka saat ini, ia bertekad untuk tidak menelepon orang tuanya. Suasana hatinya sedang buruk, dan ia tidak mau percakapan dengan orang tuanya berakhir dengan pertengkaran. Ia tahu, jika suasana hatinya sedang buruk, nada bicaranya akan berubah ketus. Tidak, ia memutuskan untuk menelepon nanti, ketika suasana hatinya sudah membaik.
Ia teringat rumahnya yang mungil di kampung. Teringat akan ruang tamunya, dan teringat sofanya yang sangat melesak. Sofa itu sudah jebol di mana-mana, membuat para tamu yang berkunjung ke rumah kesulitan untuk duduk. Ibunya sudah lama ingin mengganti sofa itu dengan yang baru, namun tidak pernah mampu membeli. Ia ingat pernah berjanji pada ibunya, bahwa jika ia berhasil mendapatkan perkejaan, ia akan membelikan beliau sofa baru dengan gaji pertamanya. Ketika mendengar ini, ibunya hanya tersenyum.
Lalu ia teringat ayahnya. Beliau adalah laki-laki yang sebenarnya sudah lanjut usia. Namun kerentaannya sama sekali tidak tampak pada penampilan fisiknya. Ia masih sigap, badannya masih tegap, dan tidak seperti teman-teman sebayanya yang kepalanya telah ditumbuhi banyak uban, rambut beliau masih hitam legam, padahal beliau sama sekali tidak pernah mengecat rambutnya. Ibunya bilang, ayahnya awet muda begitu karena sering makan mangga. Entah benar entah tidak.
Dan walaupun telah lanjut usia, ayahnya masih harus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Untunglah, dua dari tiga orang anaknya telah bekerja, sehingga beban yang ia pikul sudah sedikit lebih ringan.
Namun pikiran tentang janjinya pada ibunya dan ayahnya yang masih harus bersusah payah mencari uang di usianya yang senja, membuat dadanya terasa sesak. Ia merasakan sesuatu yang panas dan cair mengalir dari ujung matanya. Ia menghapus air matanya cepat-cepat, walaupun tidak ada yang melihatnya menangis di kamar itu. Ia menggelengkan kepalanya keras-keras, merasa kesal pada dirinya sendiri yang cengeng.
Saat-saat seperti ini membuatnya merasa ingin berbicara pada seseorang, namun ia bingung hendak berbicara pada siapa. Ia teringat teman-temannya di kampus dulu. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka bertemu. Sedang apa mereka sekarang? Ingin rasanya menghubungi mereka, mengajak bertemu untuk sekedar berbagi cerita. Namun ia tahu teman-temannya pun sedang berjuang seperti dirinya. Berjuang untuk mendapatkan perkerjaan, berjuang untuk lulus kuliah, dan sebagainya. Ia merasa, dengan keadaan seperti itu, jika mereka bertemu malah akan menambah kemuraman kedua belah pihak. Masing-masing pihak akan saling menceritakan kekahwatiran masing-masing, tanpa ada yang benar-benar bisa menguatkan.
Maka ia tahan keinginan itu.
Ia juga tidak ingin menceritakan kegelisahannya pada kedua kakak laki-lakinya. Ia tidak ingin dianggap pengeluh. Ia selalu berkata pada dirinya sendiri bahwa semua orang di seluruh dunia juga sedang berjuang. Bahwa bukan hanya dia yang menderita, bahwa bukan dialah orang yang paling menderita di dunia. Ia selalu mengingatkan dirinya, bahwa masih ada banyak orang lain yang permasalahannya lebih besar, yang keadaannya jauh lebih buruk, yang hidupnya jauh lebih berat. Ia tahu itu semua, tapi pikiran-pikiran tentang orang tuanya dan keinginannya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik pada mereka, mau takmau membuatnya merasa merana. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan untuk mereka. Ada banyak barang yang ingin ia belikan. Tapi ia belum mampu untuk memberikan itu semua .
Padahal di usia mereka yang telah senja, seharusnya mereka saat ini sedang menikmati hidup. Seharusnya mereka tidak perlu lagi bersusah payah bekerja untuk mencari uang. Seharusnya mereka sudah bisa hidup nyaman. Namun kenyataanya sama sekali tidak seperti itu, dan itu semua karena dia.
Ia merasa sangat tidak berguna. Ia merasa dirinya tidak memiliki arti. Kerak dunia. Pemborosan ruang.
Ia menghela napas berat dalam usahanya untuk tidak menangis. Cukup lama ia terdiam, menelan ludah berkali-kali, meskipun mulutnya masih terasa kering, mencoba menata suasana hatinya. Kemudian ia menegakkan diri, dan duduk di tepi tempat tidur.
Suasana kos-kosan sangat sepi. Yang terdengar hanya bunyi pelan jarum jam beker di meja samping tempat tidur. Mungkin penghuni kos yang lain sudah terbang ke alam mimpi, atau masih entah di mana di luar sana, mencari cara agar bisa pulang.
Ia melirik ke lubang ventilasi di atas jendela kamar. Melewati lubang itu ia bisa melihat butiran-butiran putih salju jatuh perlahan dari langit. Sekali lagi ia bertanya-tanya, mengapa salju bisa turun di tempat seperti ini. Yang lebih aneh lagi, sepertinya semua orang yang bukan penduduk kota ini sama sekali tidak menganggap ini sesuatu yang aneh. Tak ada kehebohan, tak ada pertanyaan. Apakah ini semua khayalannya? Jika ya, sungguh ini adalah khayalan yang terlalu nyata.
Sudahlah, pikirnya, biarlah salju itu turun. Ia mengalihkan pandangan dari lubang ventilasi, dan mulai beranjak ke meja samping tempat tidur, di mana ia meletakkan laptop yang dibelikan ayahnya (dengan merogoh koceknya dalam-dalam) ketika beliau tahu bahwa ia sedang dalam proses pengerjaan skripsi.Ia teringat pada sebuah iklan lowongan kerja yang ia lihat di sebuah laman beberapa hari lalu. Ia memutuskan untuk mencoba mengirimkan surat lamaran kerja ke perusahaan tersebut.
Ia sadar, tak ada yang bisa ia lakukan, selain terus mencoba. Meskipun ia sering merasa pesimis, meskipun ia telah sering gagal, hal terkecil yang bisa ia lakukan hanyalah terus mencoba. Walaupun setiap kali gagal ia akan merasa benar-benar merana, ia tidak mungkin berhenti. Memang apa lagi yang bisa ia lakukan, selain terus mencoba? Terus mencoba, sambil berharap semoga akhirnya semua akan berakhir bahagia. Seperti halnya ia berharap semoga suatu saat hujan salju ini akan sirna, membawa kehangatan sinat mentari yang akan mencairkan salju bersamanya, dan tak akan pernah kembali lagi, selamanya.
Perempuan itu duduk di kursi di depan meja, jarinya diposisikan di atas laptop, seperti seorang pianis yang tengah bersiap memainkan sebuah komposisi musik. Ia hendak mengetik surat lamaran kerja. Ia menarik napas, dan setelah memanjatkan seuntai doa, jari-jarinya pun mulai menari di atas keyboard.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H