Lihat ke Halaman Asli

Indrian Safka Fauzi

Praktisi Kesadaran Berketuhanan, Kritikus Fenomena Publik dan Pelayanan Publik. Sang pembelajar dan pemerhati abadi. The Next Leader of Generation.

Pendidikan yang Mengabaikan Pembelajaran Subjektivitas adalah Sumber Kekuasaan yang Korup

Diperbarui: 11 Oktober 2022   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perampok (Sumber: Freepik)

Selama saya belajar di bangku SD hingga kuliah. Semua berbicara Objektivitas. Hal-hal yang bersifat subjektivitas di abaikan, kalaupun "dipedulikan" hal demikian hanyalah setengah hati implementasinya.

Berbeda dengan era Pendidikan sekarang yang mulai berbenah diri dengan sebuah Teknik Belajar Diferensiasi yang mengandalkan Subjektivitas Guru dan Murid sebagai manusia dan sebagai Makhluk Allah.

Saya sendiri berperan dalam kemajuan Pendidikan Indonesia, dan selalu memberikan masukan secara konsisten kepada jajaran Kementerian Pendidikan tentang potensi manusia yang bersandar pada Hati-Keinginan-Akal dan karunia tambahan dari Tuhan ialah Kecerdasan Intuisi dan Kecerdasan Inderawi.

  • Seorang pebelajar didominasi dengan potensi Hati yang tinggi biasa belajar dengan nyaman secara auditory. 
  • Seorang pebelajar didominasi dengan potensi Keinginan yang tinggi biasa belajar dengan nyaman secara kinestetik. 
  • Seorang pebelajar didominasi dengan potensi Akal yang tinggi biasa belajar dengan nyaman secara visual.
  • Seorang pebelajar didominasi kecerdasan Intuisi yang tinggi biasa belajar dengan nyaman secara membaca dan menulis.
  • Seorang pebelajar didominasi kecerdasan Inderawi yang tinggi biasa belajar dengan nyaman secara hapalan dan menghitung/berkalkulasi.

Pendidikan ala-kolonialisme yang saya alami membuat saya muak dan ingin segera "merekonstruksi"-nya secara massif dengan memberikan kritikan tajam kepada Kementerian Pendidikan Budaya dan Ristek.

Kebobrokan Moralitas pengajar yang senang menjual ilmu yang sudah mereka bukukan untuk dibeli paksa oleh peserta didik, secara tidak langsung menjerumuskan anak didik dalam lembah korup setelah lulus dari dunia pendidikan. Nilai saja bisa dibeli dengan membeli buku dari "para oknum pengajar", makin dapet duit banyak maka nilai peserta didik bisa makin sip. Ada apa? Haloo! Pendidikan Indonesia? 

Ini namanya PERAMPOKAN!

Menjadikan peserta didik sebagai objekan memperkaya diri, bukan sebagai subjek yang diperlakukan sebagai seorang manusia ciptaan Allah. Membuat saya menabuh genderang perang dengan para pengajar bermental korup demikian. Lihat generasi sekarang, semua tergila-gila dengan kekayaan materi! Apa kalian tidak menyadarinya wahai para pengajar bermental korup dan gila akan materi?

Pengajaran yang korup mencetak generasi yang korup pula. Masih mau berkilah?

Siapkah kalian para oknum menanggung konsekuensi atas apa yang kalian perbuat pada peserta didik? Mari kita bersumpah. Apakah diri saya atau kalian para oknum yang kelak dihinakan Allah di Hari Pembalasan? Bertanggungjawablah atas segala yang kita perbuat di dunia ini, sebelum diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Yang Maha Perkasa.

Tertanda.
Rian.
Cimahi, 10 Oktober 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline