Lihat ke Halaman Asli

Indrian Safka Fauzi

Praktisi Kesadaran Berketuhanan, Kritikus Fenomena Publik dan Pelayanan Publik. Sang pembelajar dan pemerhati abadi. The Next Leader of Generation.

Sikap Kritis Menyikapi Paham Materialistis

Diperbarui: 17 Agustus 2022   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Uang (Unsplash/EBC) - mediaedukasiborneo.com

Manusia zaman ini mulai kritis menyikapi paham materialistis, yaitu paham bahwa kebahagiaan hadir dari hal-hal yang bersifat materi, duniawi, juga segala kebahagiaan diukur dari jumlah uang dan benda yang dimiliki. Pertanyaannya apakah itu salah?

Zaman yang ada di dunia akan berubah, jika Kiblat Kepemimpinan Dunia-pun berubah pula. Ini sudah ketetapan alam yang berlaku. 

Kita akui sikap materialistis atau kata lainnya money-oriented, sudah bukan hal asing dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan kekuatan finansial seorang bisa menjadi daya tarik untuk membangun rumah tangga. Apakah itu salah? 

Terlepas dari masalah benar atau salah. Saat ini zaman menuntut masyarakat untuk kuat dalam hal finansial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama dalam kehidupan perkotaan yang sangat padat. Kalau di daerah pedesaan, saya melihat sendiri fenomena hidup apabila ada saudaranya kekurangan, sikap gotong-royong untuk memenuhi kebutuhan tetangganya, tidak mesti diukur dengan uang, bahkan terkadang ada kebijaksanaan tukar barang seperti barter untuk saling memenuhi kebutuhan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Maka timbullah pertanyaan... benarkah uang menjadi alat ukur keselamatan dan kebahagiaan seseorang? Saya kembalikan pada situasi, kondisi dan lokasi yang kita hadapi... apakah masyarakat yang kita hadapi seluruhnya berpemahaman demikian atau tidak. Jika mayoritas berpemahaman demikian, maka siap-siaplah untuk survive dengan berjuang untuk memiliki finansial yang mapan.

Saya sendiri bukan seorang yang memiliki materi yang dibilang cukup, seringkali dompet saya kosong melempem. Namun memang karena kedua orang tua dan adik saya memiliki kekuatan finansial yang cukup, dan ditunjang dengan fasilitas memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Saya hidup di bawah naungan kedua orang tua dan adik, saya menjadi tidak mempermasalahkan isi dompet saya, dan berjuang untuk membantu beliau bertiga dengan melayani beliau berkehidupan. 

Berharap dengan kontribusi saya untuk bangsa dan negeri walau hanya dengan tulisan-tulisan yang tergores baik itu di Platform Beyond Blogging ini dan surat yang selalu saya kirim kepada Kementerian Sekretariat Negara, dapat membawakan perubahan bangsa ini menuju bangsa yang gemah ripah loh jinawi. Baru itu yang bisa saya lakukan saat ini.

Saat ini gempuran krisis melanda dunia. Dan kebijakan dunia perihal kebersandaran dunia terhadap uang dikritisi dengan fenomena ketimpangan sosial, kesejahteraan yang tidak merata. Lantas kalau Uang itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan. Kenapa masih ada orang-orang yang tidak bahagia bahkan rela mencelakai dirinya sendiri demi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri?

Seakan-akan dunia menganggap Uang lebih kuasa dari Tuhan. Maka Paham Materialistik dengan cabangnya money-oriented kini menimbulkan banyak pertanyaan kritis dari generasi penerus seluruh bangsa. Mengapa aku hidup di dunia yang tidak adil seperti ini?

Kalau uang benar-benar bisa memberikan solusi. Mengapa negeri yang menginisiasi paham Materialistik tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Apa realitanya? Kemiskinan kok makin menjadi-jadi? Mengapa orang-orang makin banyak terlantar dan rela hidup gelandangan? Jadi masalahnya ada pada Uangnya (Benda mati) atau Manusianya (yang Hidup)?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline