Lihat ke Halaman Asli

Intan Zulfiana

Ibu rumah tangga

Cerita Sinusitisku, Pengalaman Operasi Hypertrophy Concha Bulan Oktober Lalu

Diperbarui: 1 Januari 2024   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi orang menderita sinusitis (Sumber: health.kompas.com)

Beberapa waktu terakhir saya sering menemui video yang melintas di fyp saya di sebuah halaman sosial media. Video tersebut berupa trend tulisan pernyataan dari si pembuatnya, yang mengatakan jika 2023 adalah tahun terberatnya. Spesifik dengan bulan yang juga mereka sebutkan. Tanpa penjelasan lebih lanjut apa yang sebenarnya merek alami, intinya, di bulan tersebut mereka mengalami fase atau gejolak hidup paling berat atau bahasa kekiniannya 'ugal-ugalan'.

Sayapun kemudian teringat dengan diri saya sendiri. Tentang apa yang sudah saya alami di tahun 2023 ini yang akan menjadi salah satu pengalaman dan catatan penting dalam hidup saya.

Bulan Oktober lalu adalah bulan dimana menjadi catatan bersejarah dalam hidup saya. Ada satu kejadian yang tidak pernah terpikirkan dan sangka sebelumnya akan terjadi. Yaitu masuk rumah sakit demi menjalani sebuah operasi atau pembedahan. Ya, buat saya ini adalah pengalaman yang begitu amazing. Mengingat dalam sejarah hidup saya yang sudah menginjak usia kepala tiga ini, tak pernah sekalipun saya dirawat di rumah sakit. Bahkan untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit pun terbilang sangat jarang. Mentok saya biasanya hanya periksa ke bidan yang buka praktik di dekat rumah, atau ke klinik faskes I dengan memakai layanan BPJS. Atau bahkan membeli obat bebas di apotek terdekat.

Sampai akhirnya di awal bulan Oktober lalu saya mulai mengalami sakit yang berlarut-larut dan tak kunjung sembuh. Tak biasanya saya mengalami sakit separah itu. Memang sih, gejalanya mungkin dirasa tak seberapa dan cukup familiar. 'Hanya' berupa sakit kepala, namun tak berkesudahan. Tapi sungguh itu sangat amat mengganggu hari-hari saya. Tak cuma untuk melakukan aktivitas harian, bahkan selama hampir sebulan itu untuk tidurpun saya mengalami kesulitan.

Jadi begini kronologinya...

Minggu pertama Oktober, anak saya sakit berupa demam 3 hari lalu berlanjut batuk pilek. Di hari ke-4 sejak anak saya pertama demam, saya pun ikutan ambruk dengan gejala pusing, pilek, dan radang tenggorokan. Awalnya saya pikir saya cuma ketularan anak saya dan hanya meminum paracetamol yang ada di kotak P3K di rumah. Sampai hari kedua saya sakit, gejalanya makin membuat tidak enak di badan saya. Demam tak terlalu tinggi (sekitar 38,-), pusing, dan hidung meler yang paling terasa. Saya memutuskan untuk ke klinik dan memeriksakan kondisi yang saya alami. Di situ dokter jaga memberikan resep berupa obat radang tenggorokan, batuk pilek, dan vitamin c untuk 3 hari.

Hari berlalu, hingga obat dari klinik habis, sakit saya tak kunjung sembuh. Rasa sakit yang paling menyiksa saat itu adalah sakit di kepala. Terasa seperti ditekan, berat, dan nyut-nyutan terutama di dahi. Oh ya, saat itu juga ada ingus berwarna kuning kental yang cukup sering mengalir dan harus dikeluarkan berkali-kali dalam sehari. Saya pikir dengan adanya tanda tersebut, apakah ada infeksi di tubuh saya.  Sempat juga saya mengalami anosmia atau tidak mampu mencium aroma atau bau apapun sama sekali selama 3 hari. Tapi feeling saya pada saat itu kurang saya indahkan dan masih berpikir positif jika saya cuma mengalami flu biasa. Saya kembali ke klinik dan kembali mendapatkan resep. Kali ini saya meminta untuk diberi obat sakit kepala karena hal tersebut yang paling mengganggu. Setelah 3 hari dan obat habis, hasilnya sama saja. Saya masih mengalami sakit kepala yang begitu menyiksa.

Sempat beberapa hari setelah obat dari klinik habis, saya terpaksa membeli obat pereda sakit kepala yang dijual bebas di apotek. Dari mulai yang mereknya sangat familiar, hingga yang kurang dikenal. Saya tidak meminumnya setiap hari. Dan dalam sehari, maksimal saya hanya mengkonsumsinya maksimal 2 kali atau dua butir saja. Saya sudah was-was kalau harus terus terusan minum obat, apalagi tanpa resep dokter.

Hasil dari obat pereda sakit kepala tersebut hanya meringankan sakit kepala dalam kurun waktu tak lebih dari 24 jam. Jadi hari-hari itu tak pernah saya lalui dengan benar-benar sehat dan terbebas dari sakit kepala. Badan masih terasa kliyengan, makan tidak enak, sempat pandangan kabur dan seperti mau pingsan. Termasuk tidurpun masih terganggu dengan rasa sakitnya. Untuk lendir atau ingus kuning kental sudah hilang dan berganti dengan ingus cair bening yang tidak perlu terlalu sering untuk dikeluarkan. Sepertinya berkat ramuan rimpang yang saya buat sendiri. Jadi setiap pagi saya membuat minuman dari potongan jahe, kencur, sereh, dan madu yang diseduh dengan air panas. 

Di minggu ke 3 bulan Oktober, akhirnya saya mulai beraktivitas kembali. Setelah sebelumnya terpaksa harus meliburkan anak saya dari sekolahnya selama hampir 2 minggu. Hari senin saya mulai mengantarkan anak saya kembali ke sekolah. Sejalan dengan tekad saya yang akhirnya mantap ke rumah sakit untuk menemui dokter spesialis THT. Kenapa spesialis THT? Ya, karena saya sebetulnya sudah punya feeling dan kecurigaan bahwa apa yang saya alami beberapa minggu belakangan adalah sinusitis. Tentu saja dengan bekal ilmu dari mbah Google dan berdasar tanda-tanda dan pengalaman rhinitis alergi yang saya miliki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline