Lihat ke Halaman Asli

Intan RubySyaphira

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas

Filter Bubble, Apakah Mempermudah atau Justru Membahayakan Hidup?

Diperbarui: 8 Agustus 2023   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi media sosial.(Dok. KOMPAS.com)

Seorang sosiologis Danah Boyd (Praiser, hal 13) mengatakan bahwa "our bodies are programmed to consume fat and sugars because they're rare in nature.... In the same way, we're biologically programmed to be attentive to things that stimulate: embarrassing, or offensive. If we're not careful, we're going to develop the psychological equivalent of obesity. We'll find ourselves consuming content that is least beneficial for ourselves or society as a whole." 

Maka, dapat diibaratkan dengan adanya filter bubble, otak kita diprogram untuk mengonsumsi hal yang telah disediakan oleh internet dengan anggapan bahwa informasi itulah yang seharusnya kita konsumsi.

Hal ini mirip dengan teori agenda setting pada era media televisi yang berasumsi bahwa media telah men-setting informasi apa yang seharusnya dikonsumsi masyarakat, dalam artian bahwa yang dianggap penting oleh media juga harus dianggap penting masyarakat, media menyusun susunan prioritas terhadap berita yang ditayangkan (Daryanto, 2014: 140).

Contoh dari fenomena efek filter bubble ini adalah ketika kita mencari informasi tentang jaket, misalnya, di search engine Google, kemudian kita berlama-lama dalam menggali informasi tentang jaket tersebut, lalu setelahnya kita membuka aplikasi media sosial, Facebook misalnya, secara otomatis informasi tentang jaket yang kita cari di Google sebelumnya akan muncul dalam bentuk iklan.

Algoritma yang diciptakan ini memudahkan aplikasi Facebook dalam menyediakan layanan periklanan yang tepat sasaran. Pengguna Facebook sangat banyak dan cukup mudah dipetakan. 

Apabila diingat kembali, untuk melengkapi profil Facebook kita disodorkan pertanyaan-pertanyaan terkait hal apa saja yang kita sukai, dengan begitu, informasi yang muncul di beranda kita adalah informasi yang kita inginkan. 

Hal ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai dampak positif bagi dua pihak, yaitu perusahaan yang memasang iklan pada laman Facebook. Kemampuan menganalisis dengan cepat dan tepat menjadikan big data banyak digunakan perusahaan besar untuk meningkatkan penjualannya, dengan mengetahui pengguna mana yang membutuhkan produknya, maka membantu perusahaan dalam hal promosi. 

Pihak kedua yang merasakan dampak positif adalah pengguna Facebook karena dengan adanya filter bubble ini, maka mereka dapat menemukan informasi yang mereka inginkan.

Namun, apa yang terjadi apabila informasi yang ditayangkan hanya berdasarkan apa yang kita inginkan? Artinya masyarakat diisolasi oleh informasi. Ini membuat seseorang tidak mengeksplor apa yang terjadi di luar sana, lebih parahnya lagi bahkan sampai tidak ingin tahu informasi yang tidak berhubungan dengannya (Kalasi, 2018: 124). 

Saat masa peralihan dari SMA ke kuliah saya masih sering mengakses informasi hiburan yang tidak ada kaitannya dengan politik. Semakin sering saya memakai aplikasi YouTube untuk membuka informasi hiburan yang saya inginkan, semakin saya tertinggal oleh informasi politik dan pada saat itu memang saya tidak begitu peduli. Hal ini membuktikan bahwa efek filter bubble membuat saya tidak peduli dengan berita apa yang terjadi di sekitar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline