Lihat ke Halaman Asli

Sang Inspirator

Diperbarui: 1 Juni 2020   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Oleh: Intan Rifiwanti*)

Kesunyian malam nyaris lenyap. Tiba saatnya sang Surya yang berkuasa.  Pun mentari pagi mulai menembus celah-celah jendela di ruang tidurku dan memaksaku untuk bangun. Kali ini aku tak bisa menghindar, aku menyerah. Aku memang harus bangkit dari kasurku yang empuk. Terlihat remang-remang waktu menunjukan pukul lima pagi. Lekas aku beranjak mandi dan melaksanakan kewajiban. Ohya, nyaris terlupa. Kata orang tuaku, namaku Nadia. Aku merasa bahagia dikelilingi orang-orang yang baik selalu kepadaku. Aku sangat beruntung memiliki dua orang terkasihku, ialah ayah dan ibu yang aku yakini mereka tidak pernah lupa menghadirkan namaku dalam setiap doa mereka. Juga kakak yang selalu setia menemaniku berkelahi. Aku lebih kerap menyapanya dengan sebutan Mbak Nindy. Setiap waktu yang kami lewati selalu berujung perkelahian hebat laik perang dunia.

Aku mulai merasa kesepian ketika Mbak Nindy masuk kuliah. Tidak ada keramaian yang tercipta seperti biasanya. Setelah resmi menjadi mahasiswa, intensitas perkelahian antara aku dan Mbak Nindy sudah pasti berkurang drastis. Bahkan nyaris tidak pernah lagi kualami. Kecuali kalau gadis si pemilik nama Nindya Rahma itu mudik. Lain pula dengan sahabat. Aku punya sahabat yang baik banget terhadapku. Aku mengenalnya sejak aku duduk di bangku SMP. Dia baik dan setia. Selalu mengerti aku,  mendengarkan ceritaku, dan menyimpan rahasiaku. Dia selalu ada, walau sebenarnya nggak ada. Hehehe...  Dan bagian dari hidupku yang lainnya adalah teman hatiku. Azka namanya. Dia adalah sosok pemuda yang baik menurutku, manis, dan terutama saleh.

 Aku tidak bisa lagi disapa dengan sebutan anak kecil. Sudah dua lembar ijazah yang berhasil kukantongi saat ini. Aku baru saja menyelesaikan studiku di sekolah tempatku mengenyam pendidikan menengah pertama. Aku menanggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di sana. Salah satu yang menyakitkan adalah perpisahan. Aku merasa sedih ketika harus berpisah dengan sahabat setiaku, juga guru-guru yang telah dengan sabar mengajariku bagaimana bisa mengetahui bahwa benda jatuh ke bumi adalah karena hukum gravitasi. Itu adalah contoh kecil dari begitu banyaknya ilmu yang kudapatkan dari pahlawan tanpa tanda jasa itu.

Kini aku melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Seragamku saja sudah berganti menjadi putih abu-abu. Sekolah Menengah Atas. Masa yang paling indah. Katanya. Faktanya, biasa saja menurutku. Teman baru, lingkungan baru, suasana baru. Semuanya biasa saja. Mungkin orang lain akan menganggapku tabu mengapa aku hanya merespon ini semua dengan dua kata yang cukup singkat, “biasa aja” tapi inilah aku. Setiap orang pasti berbeda. Hanya di mata Tuhan semuanya sama. Anak kembar identik sekalipun, pasti memiliki perbedaan. Begitu juga denganku. Aku lebih merasa nyaman dengan suasana yang biasa kujalani. Malah kadang nelangsa dengan suasana yang baru. Entahlah, aku sendiri tidak paham apa alasannya.

Gak betah!” Ya, mungkin ungkapan ini lebih tepat. Yang pasti, aku kahilangan banyak kenangan selama aku duduk di bangku SMP. Sahabat terbaikku, tak bisa kujumpai lagi setiap hari. Karena kami tidak berada di sekolah yang sama lagi. Kuharap, hubungan persahabatan yang baik ini tetap terjalin. Tidak merenggang, apalagi terputus.

Di kelas baruku, aku ditemani oleh gadis berkacamata miopy minus dua koma lima. Aulia namanya, yang kini duduk tepat di sampingku. Dengannya, kami bercerita tentang apa yang terjadi antara aku, dia, dan kelas kami. Hari pertamaku menjadi pelajar SMA cukup menegangkan. Setiap masuk SMP atau SMA, pasti siswa baru akan mengalami Masa Orientasi Siswa atau lebih kerap disapa dengan sebutan MOS. Berbagai tugas yang aneh-aneh diberikan oleh senior kepada junior.  Intinya MOS itu acara yang asyik.

“Perkenalkan, nama saya Nadia Rahma. Saya berasal dari SMP Putih Biru. Ada yang ingin ditanyakan?” ucapku saat perkenalan.

Mulanya semua diam. Aku sangat paham, mungkin karena mereka masih malu-malu. Sama sepertiku, belum terbiasa dengan lingkungan yang baru. Jadi, masih perlu adaptasi. Akan tetapi, karena senior-seniornya narsis, suasana sepi bisa seketika berubah menjadi ramai menyenangkan dan berhasil membuat salah seorang siswa mengangkat telunjuknya dan bertanya,

“Jumlah sodara?” hahaha... hampir setiap seorang yang memperkenalkan di mimbar kelas, tidak luput dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang singkat, dan mungkin tidak penting menurutku, tapi hal kecil itu mampu menciptakan tawa.

Senior-seniornya gokil. Sebagian ada yang galak. Sebagian lagi tegas. Tegasnya pake banget. Membuat suasana kelas menjadi tegang. Siapa lagi kalau bukan ketua OSIS. Hehehe... Selama tiga hari MOS, kelasku dibina oleh dua orang sebagai walikelas. Yang laki-laki Kak Fafa, yang perempuan Kak Iwan namanya. Eh, kebalik enggak yah. Hehehe... Kak Fafa itu banyak diamnya. Tapi kalau sekali nyeletuk ngena banget. Sedangkan Kak Iwan, kelihatannya sabar banget. Menurutku, dia senior yang baik, murah senyum, dan ramah. Aku merasa nyaman bisa di MOS sama kakak yang punya hobi menulis itu. Sayang sekali aku hanya bisa melewati dua hari MOS, karena hari ketiga sekaligus terakhir aku sakit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline