Lihat ke Halaman Asli

Cinta dari Wamena : Sepotong Cinta untuk Semua

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13712658751699039490

Masuk wish list Sepekan lalu, saya menemukan pariwara dari laman internet yang sedang saya akses. Sebuah film baru sedang digadang-gadang akan diputar di bioskop pada tanggal 13 Juni. Melihat judulnya, saya kurang begitu tertarik. Sangat biasa : Cinta dari Wamena. Saya pikir paling hanya cerita roman biasa. Namun, kataWamena cukup menyita perhatian saya juga. Gila! Pasti proses pembuatannya berlangsung di Wamena, sebuah kota nun jauh di bumi Papua sana. Dan, hasrat saya mengatakan, sepertinya film ini bisa masuk kewish list film yang akan saya tonton. Bagaimana tidak? Salah satu daerah yang ingin saya singgahi adalah Papua, sudah saya tandai sejak setahun lalu di peta besar yang menempel di dinding kamar saya. Jadi, menonton film ini bisa jadi jalan untuk mem-visualisasi destinasi perjalanan saya suatu hari kelak. Saya pun membuka mesin pencari, agak kepo juga dengan kisah yang ditawarkan oleh film yang menempatkan Nicholas Saputra sebagai pemain pendukung itu. Ternyata pas, film itu ada kaitannya dengan isu HIV-AIDS. Nah, ini tema yang tak bosan saya simak! Jadi, sudah ada setidaknya dua alasan mengapa akhirnya saya memutuskan menonton film ini, meski sendiri. Bandung mendung. Sudahlah, sudah kepalang tanggung, lagian saya sudah membawa payung, jadi saya terus melangkahkan kaki menuju bioskop, menonton film itu secara langsung. *ini serius maksa bikin akhiran –ng* Bioskop ramai meski hari kerja, mungkin karena Cinta dari Wamena premier hari ini. Begitu yang terlintas ketika memasuki lobby bioskop. Saya sudah siap memesan tiket, ketika melihat layar monitor datar di atas meja lobby yang panjang itu, hanya lima kursi yang telah terisi. Sisanya? Kosong. Dugaan saya ternyata kurang tepat. Meski premier, tak semua film mendapat sambutan hangat, yang dapat terlihat dari jumlah penonton yang menonton. Di dalam studio, suasananya sepi sekali. Baru saya dan satu orang yang duduk jauh di depan saya yang telah hadir. Sisanya baru masuk beberapa menit sebelum film benar-benar ditayangkan. Saya menghitung, ada sekitar tujuh orang, ditambah satu crew yang juga turut menonton. Meski sepi, saya tidak terlalu khawatir seperti kekhawatiran saya ketika melihat sebuah warung kecil yang minim pembeli. Secara, tentu meski hari ini sepi, namun pemilik modal masih bisa menggoyang-goyangkan kaki dan bersantai ria. [caption id="attachment_248974" align="alignnone" width="169" caption="sumber : www.cintadariwamena"][/caption] Persahabatan, cinta, dan luka itu Mari beralih ke Cinta dari Wamena! Lampu studio sudah dimatikan. Gambar-gambar di layar besar itu sudah bergerak silih berganti. Suara-suara bermunculan. Kisahnya bermula dengan pertemuan dua pemuda, Daniel (Nicholas Saputra), seorang musisi Ibu Kota yang tengah galau mencipta lagu, dengan Litius (Maximus Itlay), seorang pemuda dari Wamena yang mendapat kesempatan belajar di Jakarta. Ditampilkan Daniel yang sedang galau tiba-tiba dibuat terkesima oleh suara dan permainan gitar Litius, yang membawa mereka menjadi partner. Daniel mulai mengenal Litius melalui cerita-ceritanya. Ya, Litius berasal dari sebuah desa kecil di Papua. Bersama dua sahabatnya, Tembi dan Martha, Litius menempuh pendidikan dasar dan menengah pertama di desanya, yang jarang dihadiri oleh guru mereka. Merekapun lulus SMP tanpa bisa membaca. Kembalinya Anthoni, seorang pekerja bandara ke kampung mereka, membangkitkan semangat ketiga sahabat ini untuk menempuh pendidikan yang lebih baik dan gratis di Wamena. Tembi hendak menjadi tentara. Martha kepincut menjadi pramugari. Sementara Litius ingin menjadi pemain bola. Maka mereka bertiga pergi menuju Wamena. Di Wamena, Martha kemudian bekerja sebagai pembantu rumah tangga sembari melanjutkan sekolah, sementara Litius dan Tembi menjadi penarik becak di waktu luangnya sepulang sekolah. Ketidakmampuan mereka membaca tidak mennyurutkan cita-cita mereka bertiga. Seiring berjalannya waktu, Litius jatuh hati pada Endah (Amyra Jessica), teman satu kelasnya. Persahabatan di antara mereka mulai terjalin semenjak Litius menjadi becak langganan Endah, yang menyambi menjadi pramusaji di sebuah rumah makan, selain bersekolah. Endah memiliki cita-cita menyusul adiknya ke Jakarta, dan karenanya ia tengah mengumpulkan uang untuk cita-citanya tersebut. Tembi juga mulai menemukan teman-teman baru, hanya saja kehidupan Tembi dipenuhi obat-obat terlarang dan perempuan. Sementara itu, Martha merasa hampa karena menganggap kedua sahabatnya telah berubah. Menginjak kelas tiga, Tembi sudah tak lagi sekolah. Ia mulai sakit-sakitan. Badannya kurus dan batuknya tidak kunjung sembuh, bahkan sampai mengeluarkan darah. Litius mulai bisa membaca dan ditawari gurunya untuk ikut ujian agar bisa kuliah di Jakarta. Martha masih bersemangat ingin jadi pramugari, ditambah Endah memberikannya buku mengenai tes untuk menjadi pramugari. Singkat cerita, Tembi dinyatakan positif HIV dan TBC. Tembi merasa dirinya tidak lagi berguna karena penyakit yang dianggapnya sebagai kutukan tersebut. Litius dengan sabarnya merawat Tembi dan memantau waktu-waktu di mana Tembi harus minum obat, yang pada kenyataannya obat-obatan tersebut dibuang oleh Tembi. Litius menghadapi kesedihan baru, ketika Anthoni mengatakan Endah, gadis yang disukainya, bukanlah gadis baik-baik. Ya, dalam cerita tersebut, Endah akhirnya divonis positif HIV. Endah yang down, tak lagi masuk sekolah. Litius batal mengikuti ujian. Hingga suatu hari, Endah terbang ke Jakarta. Litius mendapat kesempatan mengikuti ujian susulan. Litius dalam cerita tersebut sangat mencintai Tembi dan Endah. Tembi mulai tumbuh kepercayaan dirinya lewat kata-kata yang Litius sampaikan, sementara Endah –yang sebenarnya juga mencintai Litius- harus memilih selamanya hanya menjadi sahabat Litius, karena khawatir akan menularkan HIV kepada Litius. Dan Martha, kembali menemukan sahabat-sahabatnya. Litius berhasil mendapat tiket bersekolah di Jakarta. Ia bertemu Daniel yang terpikat oleh suara, permainan gitar, dan lagu ciptaan Litius yang ditulisnya untuk Tembi dan Endah. Mereka berkolaborasi, dan kemudian melalui musik, berkampanye untuk mendukung orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Kita sama, apa yang berbeda? Terlepas dari beberapa kekurangan film ini yang bagi saya sempat mengganggu dan berbeda dengan apa yang saya yakini, overall, untuk yang membutuhkan informasi mengenai HIV-AIDS dengan metode yang menarik, film ini bisa jadi rujukan. Film Cinta dari Wamena menjadi media KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang nyaman dan mudah ditangkap oleh kita. Bagaimanapun, menurut saya, masyarakat kita masih lebih senang menonton, dibanding membaca, jadi, gagasan untuk berkampanye anti stigma melalui film patut diapresiasi dan diacungi jempol. Mengapa harus Wamena? Menurut data dari Yayasan Spiritia, Papua masih bertengger di tangga teratas kasus HIV-AIDS (http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id&gg=1). Sementara itu dalam pemberitaan yang dilansir dari www.tanahpapua.com , Wamena menjadi salah satu kota teratas dengan kasus HIV-AIDS tertinggi di Papua, setelah Kota Jayapura. Jadi memang, tak salah mengambil Wamena sebagai setting film. Dengan trend penularan yang ada sekarang, kasus penularan HIV-AIDS tertinggi tidak lagi penggunaan obat-obat terlarang melalui jarum suntik bergantian, namun lebih ke penetrasi heteroseksual. Melalui film ini, kita coba disadarkan bahwa trend seperti ini sudah dilakukan bahkan oleh remaja kita. Hm, berarti kita punya pekerjaan rumah yang cukup besar ya, melihat piramida penduduk kita masih menempatkan kaum muda berada di dasar piramida dibandingkan orangtuanya. Kemudian permasalahan stigma. Ini sebenarnya cerita lama, namun tentu belum semua orang memahaminya juga. Tidak sedikit orang masih menganggap ODHA sebagai sumber masalah, oleh karenanya harus dijauhi. Oke, saya sepakat mungkin banyak orang menjadi ODHA karena perilakunya yang menurut kita keliru. Lalu apakah kita layak menghakimi? Mungkin memang masa lalu mereka kurang baik, tapi bagaimana dengan masa kini dan masa depan mereka? Bukankah masih ada kesempatan bagi mereka untuk jadi lebih baik? Lalu bagaimana dengan ibu rumah tangga yang tak pernah menjadi pengguna narkoba suntik (penasun) dan hanya setia pada pasangannya saja, atau anak kecil, bayi-bayi itu, yang tanpa mereka tahu tiba-tiba harus menerima kenyataan menjadi ODHA? Apakah kita juga patut menghakimi, kalau itu semua akibat perilaku mereka? Setidaknya, dalam film ini, kita dibuat berpikir : bahwa kita juga punya arti bagi para ODHA, punya arti untuk membuat mereka merasa lebih berarti. Another ending Jadi, kalau sempat, silakan tonton. Apakah saya sedang promosi? Silakan menganggap seperti itu. Siapa tahu ada yang hobi pergi nonton. Siapa tahu ada yang kangen melihat penampilan Nicholas Saputra. Siapa tahu ada yang memimpikan Wamena dalam tidur malamnya. Siapa tahu ada yang mau belajar... #respect Ditulis malam-malam 14 Juni 2013 M/ 6 Sya’ban 1434 H Panjang juga (>.0)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline