Suara riuh masih terdengar, cekikikan-cekikikan usil dari mulut-mulut kecil terus bersahutan
"Nimah gila, Nimah gila,... Nimah miring, Nimah miring , huuuuuu!!!"
"Peragawati euuyy peragawati, hiyyyaa...peragawati beraksi!"
sumber : strawbell.blogspot.com
Begitulah, seperti tak pernah bosan anak-anak itu mengolok dan mengarak perempuan setengah baya yang hampir tiap hari melenggang di jalanan desa mereka .
Perempuan setengah baya itu tidak akan memperdulikannya sama sekali, dia hanya akan berjalan menyusuri jalan hampir sepanjang tujuh kilometer dari rumahnya menuju kota terdekat. Bukan hanya satu kali, dalam sehari dia bisa bolak-balik menyusuri jalan itu.
Beraksi bak peragawati, Nimah akan memilih baju-baju "terbaiknya", dengan make up menor dan tatanan rambut sedemikian rupa, dia berjalan dalam diam, tak pernah hirau dengan sekelilingnya.
Namaku Sulastri. Dia, perempuan itu adalah ibuku. Aku gadis enambelas tahun yang akan memeluk ibuku ketika dia pulang setelah letih berjalan, memandikan dan menyuapinya, memijat kakinya dan menuruti kemauan ibu untuk menyiapkan pakaian, untuk dipakai esok hari tentunya.
Aku tak ingat betul kapan tepatnya sesuatu menimpa ibuku. Yang aku tahu dulu ibuku adalah perempuan tercantik di kampung ini. Hidup bahagia setelah dipersunting ayahku yang gagah dan tampan. Segalanya berubah saat ibuku memutuskan untuk pergi merantau, menjadi tulang punggung keluarga ke negeri orang, sesuatu yang di kampungku merupakan hal yang umum dilakukan.
Saat ibuku tak ada, aku dirawat oleh nenekku, sedangkan ayah tinggal sendiri di rumah yang kutinggali sekarang bersama ibu.
Saat ibu pulang sekitar 8 tahun lalu, perangainya mulai berubah, sering kudengar dia marah besar kepada ayah, entahlah aku belum paham apa-apa. Sampai puncaknya adalah ketika ibuku mengusir ayah, dan sejak saat itu aku tak pernah melihat lagi keberadaan ayahku.
Setelah itu perlahan ibuku jadi orang yang berbeda, tertawa, dan bercerita dengan riang gembira, kadang menangis sedih menyayat hati. Sayangnya tak ada yang dia ajak bicara, ibuku hidup di dunianya.
Entah sudah berapa kebal muka dan telingaku, aku buta dan tulikan dari segala gunjingan orang. Berdua dengan nenek, aku merawat ibu. Tak ada yang bisa dilakukan selain menerimanya, memperlakukannya dengan kasih sayang, memahami perangainya, dan mengobati luka-lukanya ketika tak jarang dia pulang dengan kondisi kesakitan, badannya baret-baret atau kadang penuh kotoran.