Lihat ke Halaman Asli

Intan Nurcahya

Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Kulihat Ibuku Menggantung

Diperbarui: 22 Desember 2017   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbicara tentang fisik, ibuku sedikit berbeda dengan sosok pada umumnya yang sering digambarkan. Kebanyakan orang menggambarkan sosok seorang seorang ibu adalah wanita cantik,  jari-jemari halus, lentik,  dan lembut, serta gerakan yang lemah gemulai. Tidak, ibuku wanita biasa saja, cantiknya sederhana. 

Perawakannya kecil, matanya sedikit sipit dan cekung, jika bicara bibirnya nampak tidak simetris. Komposisi badannya sedikit tidak seimbang antara belahan kiri dan kanan, oleh karenanya pundak kiri ibu agak lebih rendah dibandingkan pundak kanannya. Hanya gambaran seperti itu yang aku tahu semenjak aku mengingatnya dan menyebutnya Ibu.

Tapi bagiku ibu sangat spesial, ia pengurus rumah tangga sejati, semua pekerjaan ia lakukan. Melayani suami dan 7 anak adalah prestasi hebat dari ibuku, karena melakukannya dalam kondisi serba kekurangan.

Aku ingat ketika ibu melahirkan adik kedua-ku, ia melahirkan dengan bantuan dukun beranak pagi hari, dan sore hari ia telah mencuci kain-kain bekas darahnya di sungai jauh di belakang rumah kami. Ketika melahirkan adik bungsuku, usianya sudah menginjak 42 tahun, ia mempertaruhkan nyawanya kala itu. Ukuran bayi yang besar menyulitkannya melahirkan. 

Kami sekeluarga berkumpul, hanya mampu berdo'a. Ayahku tidak punya biaya untuk membawanya ke rumah sakit. Saat bayinya berhasil keluar, kami semua menangis lega.

Hampir tidak ada waktu istirahat untuk ibuku sehari-hari, dari mulai memasak, mencuci piring, mencuci baju, membereskan rumah ia kerjakan sendiri. Dua kakakku bersekolah jauh dari rumah, mereka nge-kost di ibu kota kabupaten.

Waktu aku seusia SD, rumahku adalah rumah panggung yang terbuat dari papan kayu, di halamannya dipenuhi bunga-bunga yang beraneka warna, Meskipun bukan bunga yang mahal tak urung juga menjadikan suasana halaman jadi semarak. Ibuku membuat bundaran-bundaran yang diisi tanaman merambat di tanah, yang belakangan aku tahu namanya bunga pukul sepuluh., bundaran itu dikelilingi batu-batu koral yang diambil dari kali. Di tengah bundaran ditanami pohon pepaya, yang buahnya selalu lebat sepanjang waktu.

Untuk membereskan halaman dan kebun belakang rumah, ibu menggunakan kored, semacam cangkul yang berukuran kecil. Hampir setiap hari ia kokored(bekerja dengan menggunakan kored) di setiap sudut halaman. Kegiatannya itu membuat tangannya kasar, kadang berwarna hitam, dan sulit dibersihkan. Selain dari tanah juga dari jelaga perabotan yang ibu bersihkan. Aku sering memintanya mengusap-usap badanku, tangannya sangat nyaman untuk menghilangkan rasa gatal.

Ibuku tak tersentuh perhiasan sedikitpun, tidak ada giwang di telinganya atau gelang di tangannya. Pakaiannya adalah baju-baju sederhana buatan sendiri. Selain kokored, pekerjaan ibu sehari-hari adalah kekerod (menjahit baju dengan tangan). Hampir semua baju anak-anaknya juga dijahit sendiri. Ibu memanfaatkan kain-kain perca, merombak baju-baju bekas yang diberikan saudara atau kakakku untuk membuat bajuku. 

Pernah suatu kali ibu membuat bajuku dari kain bekas taplak meja, kain itu dipenuhi sulaman cantik buatannya juga. Semua temanku pada iri melihatnya, mereka terkagum-kagum dengan sulaman bunga-bunga di bajuku itu.

Mengenyam pendidikan sampai kelas 5 SD bukan berarti ibuku tak cerdas, selama bersekolah ibu selalu juara. Kepintarannya itu ia gunakan untuk mengajariku membaca, menulis, dan berhitung. Selama aku belum mahir membaca hampir tiap malam ibu mengajariku, oleh karenanya aku menjadi murid paling pintar ketika bersekolah SD dulu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline