Lihat ke Halaman Asli

Intan Nurcahya

Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Hidup Bukan Roman Picisan

Diperbarui: 25 Mei 2017   20:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam menunjukkan pukul 7 malam kurang 20 menit ketika aku dan anakku sampai ke tempat tujuan, tempat praktek dokter spesialis perawatan gigi  di kotaku, hujan yang mengguyur sejak sore masih setia berinai-rinai. Ruang tunggu masih lengang,  seperti biasanya selalu tampak bersih dan cantik, menghadap langsung ke arah parkiran, berukuran tidak terlalu luas tapi dibuat lumayan nyaman. Catnya meneduhkan mata, ada deretan kursi empuk yang berhadap-hadapan. Kami bisa menonton televisi yang berukuran cukup besar di ujung ruangan. Sebelah kanan ruangan ada toilet yang selalu terjaga kebersihannya.  Terdapat sebuah mushola kecil di sebelah kanan ruangan dilengkapi mushaf-mushaf Alqur’an.

Aku duduk dekat pintu masuk, bersebelahan dengan seorang perempuan yang telah datang duluan, sementara anakku memilih duduk dekat televisi dan segera asyik dengan gadgetnya. Perempuan itu tersenyum ramah dan segera aku sadari dia begitu cantik, baju yang dikenakannya terlihat berkelas dan nyaman tersampir di badannya. Harum parfumnya bisa aku cium dan sangat elegant. Segalanya sangat berkebalikan dengan penampilanku yang seadanya, tanpa riasan dan parfum. Bukan hanya itu yang membuat aku tertarik. Dia sangat ramah menyapaku, bertanya soal anakku. Segera kami terlibat obrolan santai.

Dia menunjuk anaknya yang duduk di sebelahnya, mengatakan bahwa gigi anaknya mengalami kelainan yaitu terlambat tumbuh. Di usianya yang ke hampir 15 gigi depannya hanya terdiri dari tonjolan-tonjolan kecil yang rapuh. aku memandang wajah tampan anaknya, dia tersenyum hormat dan menganggukkan kepala kepadaku,  sebuah perilaku sopan yang tentu saja mewarisi sifat ibunya. Perempuan itu berbicara sangat menarik, terlihat cerdas dan sangat memahami kondisi anaknya. Tak lama perempuan itu permisi masuk ke ruangan periksa ketika suster telah memanggil anaknya.

Untuk kesekian kalinya aku melirik wajah anaknya, sepertinya aku pernah mengenalnya...dan ingatan mengembara ke masa 20 tahun yang lalu. Sebentuk wajah milik seseorang yang pernah mengisi hati.  Laki-laki santun dan hampir tak ada cacat cela, tetapi tak ada pilihan lain ketika sang bunda lebih memilih wanita lain untuk anaknya. Ada beda di antara kita, dan kau tak mampu menembusnya. Dengan sepenuh penyesalan kau katakan bahwa kau tak kuasa mempertahankan cinta kita. Dan tak ada pilihan lain bagiku bahwa aku harus melepaskanmu, setulus itukah perasaanku, tentu jauh dari kata iya. Dalam lubuk hati tidak ada keikhlasan itu, aku memilih diam tidak melakukan apa-apa hanya karena aku tak mampu. Menelan bulat-bulat rasa sakit dan mengubur sedalam mungkin harapan yang pernah ada.

Hampir aku tak menyadari satu persatu pengunjung lain berdatangan memenuhi ruangan sementara di luar hujan masih belum berhenti, rinainya bertambah deras dan suaranya menambah kegaduhan dalam hati.

Suara pintu yang dibuka menyadarkan lamunan dan perempuan itu kembali menampakkan wajahnya, dia keluar dan menelepon seseorang, tampaknya dia menunggu jemputan. Sebuah mobil masuk ke pelataran. Rasa penasaran memaksaku menoleh ke arah pelataran parkir. Seorang pria keluar mengembangkan payung menghampiri perempuan itu dan anaknya, duapuluh tahun berselang tidak cukup untuk menghapus ingatan pada sosok gagah itu, kini tampak serasi...dengan mereka.

“Ayo sayang kamu duluan ke mobil”, suara itu tetap lembut tak berubah sedikitpun... Aku terpekur, rasa nyeri menyelusup relung hati, sebuah rasa yang seharusnya tak ada. Aku mendongakkan wajah ketika perempuan itu menyentuh pundakku,

“Saya duluan Bu, ini suami saya telah menjemput”. Tap!, tatapan yang sedemikian kurindukan...oh bukan, bukan tatapan seperti itu, itu hanya sebuah tatapan biasa dari seseorang. Tak mampu ku mengartikan tatapan itu, atau karena memang tatapan itu tak ada artinya, tidak menyimpan apapun, tak menyiratkan apapun, lurus dan dingin.

“Iya, silahkan Bu...” Aku tersenyum, mengangguk pada laki-laki yang sedetik tertangkap perasaan terkejutnya.

“Kami permisi Bu, mari...”

“Silahkan Pa”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline